Setelah mengantar anak-anak dan istri pulang lebih dulu ke Palembang, rasanya agak lega, jadi nggak terlalu khawatir bila pulang nanti menjelang Lebaran.
Dua hari sebelum lebaran, setelah akhirnya kerjaan bisa diselesaikan semua, jam 9 malam baru bisa pergi menuju bandara Soekarno-Hatta. Memang rencananya mau naik pesawat, atas pertimbangan kemacetan sudah mulai nampak di pelabuhan Merak.
Dengan yakin langsung naik kopaja ke Blok M, dengan harapan bisa naik Damri Bandara. Perjalanan hanya setengah jam, tetapi ternyata tidak nampak ada tanda-tanda Damri Bandara, padahal fisiknya cukup besar untuk tidak terlihat, tapi agar lebih yakin masih juga berusaha mendatangi ke lokasinya biasa berada.
Karena memang sudah tidak ada, ya, tetap tidak ada-lah si Damri Bandara.
Akhirnya, keputusannya adalah naik bis ke arah grogol untuk kemudian dilanjutkan menggunakan taxi ke bandara, tujuannya jelas, untuk melakukan sedikit penghematan, setelah penghematan terbesar telah lewat peluangnya yakni naik bis ke Merak, disambung dengan naik kapal, lalu naik angkot ke Stasiun Tanjung Karang, baru kemudian menuju Palembang.
Penghematan besar peringkat kedua pun sudah terlewat, yakni naik Damri Bandara, karena sudah ditinggal.
Sebelum naik bis, maunya nyari cemilan dan minuman untuk selama menginap di Bandara, karena sepertinya sudah tidak ada flight ke Palembang diatas jam 9 malam.
Jadilah mampir sebentar ke Blok M, sebagai penghuni terdekat yang menyediakan kelengkapan cemilan dan minuman.
Langsung kebawah menuju supermarket yang akhir-akhir ini semakin sedikit populasinya.
Belanja susu, air mineral, dan sari buah, si cemilan ternyata tidak ada yang menarik hati, jadi tidak ada yang dibeli. Sebetulnya maghrib tadi belum sempat diisi makanan pokok, baru ditambal dengan 2 buah risoles saja, jadi muncul sedikit keinginan untuk beli makanan pokok, tapi dengan pertimbangan toh di bandara pasti ada makanan pokok cepat saji yang tentunya buka 24 jam, ya sudah, dari pada repot bawaannya semakin banyak, mending makan disana saja toh.
Ya sudah, keluar saja, menuju tempat bis biasa berkumpul, sambil sekali lagi melewati area si Damri Bandara, tetap dengan harapan tadi tidak terlihat dan sekarang baru terlihat.
Yah dasarnya memang sudah tidak ada ya, tetap tidak ada-lah si Damri Bandara.
Sewaktu melalui lokasi tempat berdiri Damri Bandara, ada seseorang berteriak, seseorang yang menggunakan tempat Damri Bandara biasa berdiri untuk meletakkan alatnya.
“Ke bandara Pak?” Iya, kujawab. “Naik taksi aja yuk” Nggak ah, mahal, kusahuti lagi sambil terus melangkah.
“Lima puluh ribu aja Pak” Waks lima puluh ribu? rupiah tuh? waduh murahnya, kupikir. Karena bila dihitung, tentunya akan selisih sedikit bila naik taksi dari Grogol.
Bener ni Pak, aku bertanya dengan mata berbinar dan menghentikan langkahku.
“Iya, sekalian nyari penumpang dari bandara” katanya sambil membukakan pintu depan.
Waks, yakin banget yak, sepertinya pengalaman nih orang.
Setelah banyak obrolan agak aneh selama di taksi, akhirnya sampai juga di Bandara. Langsung menuju loket terdekat di Terminal 1A, si Lion Air/Wings Air. Loketnya masih buka, jadi bisa langsung bertanya, tiket ke Palembang berapaan Bang? Iya, agak jarang sih bertemu penjual tiket berkelamin Bang. “Adanya jam 10.30 yang paling pagi Pak, harganya enam ratus sembilan puluh sembilan ribu rupiah”. WADUH, mahal amat, sambil membelalakkan mata dalam hati.
Ada jam lainnya nggak Bang, yang flight malam atau flight terakhir? “Flight terakhirnya 16.30 Pak, belum malam”. Oh... kalo itu berapa Bang? “Sama Pak, enam ratus sembilan puluh sembilan ribu rupiah”. Waduh, kalau untuk tiket Go Show masih ada Bang? “Itu tiket Go Show Pak”.
Oh, ya udah Bang, nanti saya kembali deh.
Keluar deh dari area loket Lion Air/Wings Air. Menuju ke sebelahnya, ternyata si tiket murah se-Asia. Tapi areal loketnya sudah padam lampunya. Eh kebetulan ada seorang pemakai rok keluar dari pintunya, sambil menutup pintu, lalu berjalan dengan cepat menuju parkiran. Dengan sigap kususul, lalu setelah dekat kutanya, Mbak, tiket ke Palembang masih ada nggak ya? “Wah besok pagi aja ke loket Pak”. Emang yang ke Palembang jam berapa Mbak? tanyaku sambil terus berjalan mengiringinya. “First flight-nya 10.40 Pak”. Loketnya buka jam berapa Mbak? “Jam 6 sudah buka Pak”. Terima kasih Mbak. Dibales senyuman. Lalu kutinggalkan si pemakai rok tersebut.
Menuju area selanjutnya, yang ternyata adalah area kedatangan, Domestic Arrival, dari Terminal 1A. Jadi seharusnya selanjutnya adalah Terminal 1B area keberangkatan, Domestic Departure, dong ya. Eh betul ding. Ternyata, baru ngeh sekarang, pengaturannya seperti itu toh.
Di Terminal 1B ada Sriwijaya Air dan Batavia Air yang memiliki penerbangan ke Palembang, sayang sudah gelap semua loketnya.
Jalan terus, masih ada Terminal 1C area keberangkatan, dan masih ada Adam Air yang walaupun sering jatuh, tapi memiliki penerbangan ke Palembang. Jadi ya udah deh, cobain ajah, toh kalaupun jatuh berarti sudah ajalnya nyampe mau bilang apa.
Dan setelah diperhatikan ternyata di setiap Terminal ada layar yang menunjukkan jadwal keberangkatan dan kedatangan.
Setelah lihat layar di Terminal 1C area keberangkatan, ternyata Adam Air memiliki flight yang paling pagi, jam 06.50.
Berarti yang mesti ditunggu pertama adalah depan pintunya Adam Air, karena bila keberangkatan jam 06.50 tentunya orang harus check-in 2 jam sebelumnya yakni jam 04.50, jadi kudu buka duluan nih loket ke Palembangnya.
Sekarang urusan perut harus segera dibenahi, walaupun tidak terasa lapar sama sekali, tapi kewajiban kita harus dipenuhi sebelum dituntut oleh pemda selaku pemngurus badan.
Pas muter badan, ngelongo' keatas, wah ada KFC, langsung sebar pandangan ke sekeliling nyari McD, ternyata tak terlihat, dan sepertinya juga tadi tidak terlihat sewaktu jalan, adanya A&W, donat kalah pamor, dan restoran-restoran tidak terkenal.
Jadinya naik keatas, nyamperin KFC, wah gawat, sudah beres-beres ternyata, belum sempet nanya, simasnya sudah nyaut “Sudah tutup Pak”. Loh, gak 24 jam toh? “Nggak Pak”.
Setengah panik, langsung turun, nyamperin A&W selaku penjual makanan cepat saji lainnya, wah untung nih masih ada orang-orang yang makan, langsung masuk ke Counter-nya. Belum sempet pesen, simasnya sudah nyaut “Maaf Pak sudah tutup”. Lah, gak 24 jam juga toh? “Nggak juga Pak”. Lah kok simasnya jawabnya pake juga, sok tau aja nih simas.
Buru-buru ke A&W lainnya, karena A&W ini ada di tiap terminal 1, ternyata semua sudah tutup. Tambah panik, pikir-pikir ya udah deh, gak ada nasi, terpaksa donat deh, jadinya meluncur ke donat kalah pamor. Sial. Malah sudah tutup kerai.
Nyamperin restoran-restoran tidak terkenal itupun sudah pada tutup.
Eh baru inget, tadi pas lewat perasaan masih ada masmas yang manggil-manggil, sepertinya sih restoran donat juga, tapi belum pernah lihat ditempat lain, dan ternyata ini dia restoran yang buka 24 jam. Country Choice namanya. Seperti nama susu UHT. Daripada lapar dan lagian takut juga ama tuntutan pemda, mending beli donat aja deh. Beli setengah lusin dan minuman coklat dingin. Terus cari kursi terdekat buat makan.
Pilih donatnya yang coklat semua, karena sepertinya yang lain kurang menarik.
Setelah dibuka, ambil satu yang atas tengahnya coklat penuh, terus dimakan. Lumayan enak rasanya, walaupun rotinya tidak selembut donat yang sedang sangat naik pamor.
Terus nyobain donat yang berbentuk roti penuh, berisi coklat. Makan setengahnya, dah nggak mampu nerusin sisanya.
Sial banget, dasar orang kampung, makan roti satu-setengah pun dah kekenyangan, jadi nggak kemakan dah 4.5-nya. Untung masih bisa ngabisin coklat dinginnya.
Istirahat sebentar, untungnya bangku sudah kosong. Nyontek di sebelah-sebelah pada baringan beralaskan tasnya masing-masing biar agak empuk punggungnya. Pejaman mata memang bisa menenangkan pikiran, relaksasi yang nikmat karena sembari baringan. Bangku bandara yang lebar benar-benar memberi kenikmatan lebih.
Setengah jam dalam keadaan hilang, terbangun tanpa ada penyebab. Sepertinya relaksasinya mendekati sempurna, sehingga terbangun dalam keadaan segar. Duduk sebentar sambil melihat keadaan sekitar. Tak lama dihampiri oleh seseorang yang terlihat sedikit kebingungan.
“Mas berangkat pagi besok ya?” tanyanya. Iya, mo kemana Mas? Tanyaku.
“Ke Kendari”. Wih daerah Sulawesi, langsung teringat teman SMA yang lahir disana, yang banyak memberi kemudahan sewaktu SMA dulu, thanks to him. “Belum dapet tiket nih, Mas sudah dapet?” tanyanya. Belum juga, rencananya nginep disini ya biar bisa ngantri tiket GoShow, siapa tau masih bisa dapet tiket ke Palembang. “Oh ke Palembang ya Mas? Kira-kira masih dapat tiket nggak ya?”. Yah, saya kesini memang sudah siap untuk mendapatkan yang terburuk, tapi yang penting usahanya gak berhenti. “Iya, tadi sempat nanya ke Om, tiketnya bisa lebih dari 2 kali tiket normal. Terus Omku bilang lebih penting kangennya orang tua daripada uang tersebut, uang masih bisa dicari. Kupikir ada benarnya. Jadi tadi langsung berangkat cuman pake ini nih”, katanya sambil nunjukin 2 kantong plastik supermega swalayan. Kata-kata omnya sih memang bener, tapi kalo gak punya duitnya ya gak bisa juga dipaksakan toh.
Setelah dia mengajak ngobrol panjang, akhirnya jam menunjukkan pukul 3 pagi. Yang ternyata orang-orang mulai banyak sekali berdatangan. Kubilang padanya aku mau mengantri, takut kehabisan tiketnya. Segera kuambil barang-barangku, untuk kemudian mengantri didepan pintu masuk kantor Adam Air.
Kulihat sekitar, orang-orang sudah mulai mengantri didepan pintu masuk ruang Check-In. Antrian yang cukup panjang, sampai 5 meteran lebih, keluar dari pembatas antrian.
Setengah jam menunggu kulihat dijalan ada mobil minibus berhenti dengan logo Adam Air, wah, agak bersemangat jadinya. Banyak yang turun dengan seragam Adam Air, tapi tidak ada satupun yang berjalan kearahku, yang berdiri didepan kantor mereka. Begitupun beberapa mobil selanjutnya yang berlogo Adam Air, tidak ada yang mampir ke kantor mereka ini. Dan sudah mulai banyak orang yang berdiri dibelakangku untuk mengantri tiket Adam Air ini, yang sedihnya sebagian wajah mereka tampak seperti berasal dari daerahku, yang berarti saingan dong.
Sekitar setengah 5, tiba-tiba ada 3 Mbak berseragam Adam Air yang berjalan mengarah ke kantornya. Dengan segera aku menyingkir memberi mereka jalan, tapi tetap dijalur antrian yang benar. Salah satu Mbak Adam Air berjongkok membuka kunci, setelah terbuka dia berikan kuncinya kepada Mbak yang lain, dan dia berlalu ketempat lain.
Mbak yang menerima kunci segera membuka pintunya lalu masuk, dengan tak lupa menyeret kursi panjang untuk menghalangi pintu masuknya, yang tentunya cukup jelas bisa diartikan, pintu tersebut belum terbuka untuk umum. Tanpa menyalakan lampu – karena cukup mendapatkan penerangan dari ruang Check-In yang hanya berbataskan kaca dengan ruang kantor – Mbak-nya menyalakan beberapa komputer, untuk kemudian ke pojok ruangan untuk berhias.
Seterusnya beberapa karyawan hilir-mudik keluar-masuk kantor.
Pukul 5 pagi, kursi penghalang pintu digeser oleh salah satu karyawan pria, untuk kemudian masuk lagi, tanpa sepatah katapun terucap. Dengan rasa penasaran, kulongokkan kepala kedalam pintu untuk bertanya apakah sudah diperbolehkan masuk. Tetap tidak ada yang menjawab. Wah, hebat bener pelayanannya, sepertinya karyawannya sudah terlampau capek – cukup terlihat jelas di muka mereka, sehingga untuk menjawab pertanyaan pun sudah males.
Karena tidak ada yang menjawab, aku langsung masuk, diikuti oleh beberapa orang dibelakangku. Aku menuju ke kursi terdekat, dan langsung bertanya, apakah masih ada tiket untuk ke Palembang. Kupikir si Mbak tidak menanggapi, tapi aku tetap duduk didepannya, karena sepertinya dia sibuk membuka-buka lembaran kertas, untuk kemudian dia bertanya ke rekan disebelahnya, dia menanyakan kode penerbangan, setelah itu dia menjawab “Sudah tidak ada tiket lagi Pak”.
Dengan jawaban tersebut, aku bergegas keluar menuju Terminal 1A, loket AirAsia, karena dari info sebelumnya AirAsia buka pukul 6 pagi.
Tiba di loket AirAsia, masih jam 5.20 pagi, tapi untungnya sudah ada yang datang, dan loketnya sudah buka, sehingga aku bisa segera bertanya apakah masih ada tiket ke Palembang hari ini, yang sayangnya tidak ada tiket tersisa.
Kulihat disebelah loket LionAir/Wings Air pun sudah buka, aku pun menuju kesana, ternyata kutrima jawaban yang sama seperti sebelumnya. “Masih ada tiket yang enam ratus sembilan puluh sembilan ribu”. Jadinya kujawab dengan jawaban sebelumnya, “Oh, ya udah Mbak, nanti saya kembali”.
Ke Terminal berikutnya, dimana ada Sriwijaya Air yang masih gelap, lalu ke Batavia Air yang sudah terang kantornya, dan menunggu sambil berdiri, karena saat itu tempat duduk pembelian tiket sudah penuh. Lalu salah seorang lelaki yang ikutan mengantri menghampiri, “Berangkat kemana Pak?”. Ke Palembang, jawabku. “Oh”. Sahutnya sambil berlalu, dengan heran kupandangi kepergiannya. Ternyata dia menghampiri orang lain yang juga mengantri, wah sepertinya calo nih, setelah kusimak percakapan mereka, ternyata dia memang menawarkan tiket. Ternyata masih ada calo toh.
Setelah orang didepanku menyelesaikan transaksinya, aku segera maju dan bertanya apakah masih ada tiket ke Palembang. Yang dijawab oleh mas disebelah, “Masih Pak”. Berapa Mas? “Sebentar Pak”. Langsung dia mencari pada daftar harga tiket yang dimilikinya, sambil tetap melayani pelanggan didepan dia. “380 ribu Pak”, katanya, sambil menengok kearahku. Wih, jauh lebih murah nih. Almost half of Lion Air. Boleh saya booking dulu? Kataku. “Tidak bisa Pak, tiket ini hanya bisa dibeli, bukan dipesan” katanya. Waduh, masih ada Sriwijaya Air yang belum dicek harganya nih, gimana dong.
Saya ambil satu Mas, kataku membulatkan hati. “Boleh pinjam katepenya Pak?”
Segera kuambil tanda pengenalku dari dompet, dan kuberikan padanya. Disiapkannya satu tiket untukku yang diserahkannya setelah selesai, dan kubayar. “Jam 10 sudah bisa Check-In Pak” katanya sambil menyerahkan kembalian uangku.
Leganya. Akhirnya kepastian ketemu orangtua, anak-istri, dan saudara di Palembang tinggal 50%. Tinggal memastikan pesawat berangkat, dan kepastian pesawat tiba dengan selamat di Palembang.
Aku pun keluar dari kantor Batavia Air dengan muka berseri-seri, tersenyum-senyum sendiri.
Kucari tempat duduk kosong agar bisa berbaringan lagi, lumayan capek juga. Setelah dapat tempat duduk kosong segera kududuki, pasang tas, lalu berbaring, menenangkan pikiran, memejamkan mata, dan segera tertidur lagi.
Sekitar pukul 8 aku terbangun, wah lumayan dapat tidur sekitar sejam. Disekeliling sudah sangat ramai, orang hilir-mudik, menggendong-gendong, menyeret-nyeret tas, membawa-bawa kereta dorong berisi tumpukan tas.
Sambil menunggu jam 10, kunikmati suasana sekitar, sambil mengamati siapa tau ada yang kukenal. Tapi dari ratusan orang tersebut tidak satupun ada wajah yang kukenal.
Jam 10 kurang 5, segera kuberesi perlengkapanku, dan beranjak ke ruang Check-In, lalu ke loket 8 untuk Check-In. Karena belum buka, aku berdiri mengantri. Jam 10 tepat seorang Mbak berseragam Batavia Air masuk ke belakang loket, kemudian memasang plang bertulisan ‘Palembang’, sedikit kubantu memasangkan karena Mbaknya agak kesulitan. Setelahnya ngantri lagi. Membayar airport-tax.
Masuk kedalam ruang tunggu, diperjalanan kulihat banyak spanduk ‘Free hotspot’, ternyata memang benar dari yang sering kudengar dimilis, bahwa di airport ada free hotspot, lumayan bisa nyambung internet gratisan. Bisa ngecek situasi milis disaat-saat terakhir mau lebaran. Bisa ngeledek rekan-rekan milis yang nggak bisa mudik. Setelah ngambir free-code yang tertempel didekat spanduk ‘Free hotspot’ menggunakan label Tom&Jerry 120, lalu nyari lokasi strategis, buka tas, ambil laptop, nyalain, turn-on the Wi-Fi, nyari sinyal si ‘Free’ deh. Lah kok gak ada yah?
Dengan penasaran aku pindah tempat, tapi tetep tidak dapat sinyal. Yah sudahlah, sepertinya belum harinya nih.
Jadinya ketik-ketik aja deh. Jadilah aku masuk ke lobby anjungan yang terhubung dengan pesawat, cari posisi lagi, sekarang posisi yang dicari adalah dekat dengan stop kontak, karena batere hape dan laptop dah kering. Eh ada didekat pos jaga, tersedia 4 stop kontak, aman deh, bisa sekaligus isi 2 batere.
Pesawat berangkat jam 12.45, masih sekitar 2 jam lagi.
Sekitar jam 11.55, ada pengumuman dari pihak bandara, bahwa ada delay sekitar 30 menit untuk keberangkatan ke Pontianak. Wah, kasihan. Eh tapi jangan-jangan kita juga jadi mundur berangkatnya. Jadi sial juga dong.
Tapi ternyata setelah pengumuman tersebut, langsung dilanjutkan dengan pengumuman mengenai keberangkatan ke Palembang, ternyata dimajukan jadi jam 12.15, dan semua penumpang diharapkan naik saat itu juga. Wah dengan bersemangat, semua penumpang ke Palembang bergerak ke pintu anjungan menuju ke pesawat. Ya iya dong, jarang-jarang banget deh denger ada keberangkatan pesawat yang lebih cepat dari jadwal, ternyata bisa mengalaminya langsung. Segera ku-text-message adik di Palembang untuk memberitahukan percepatan keberangkatan ini, agar tidak telat menjemputku. Tidak menunggu balasan darinya, segera kumatikan hape, karena sinyalnya bisa mengganggu instrumen penerbangan.
Setelah kutemukan kursiku, yang dapat nomor 5A, baris depan nih, meletakkan tas di atas, lalu duduk manis dengan muka berseri sambil melihat-lihat jendela luar, 5A dipinggir jendela, wah nikmatnya, sejauh ini kemudahan-kemudahan banyak kudapat. Alhamdulillah.
Baru duduk 10 menit, diumumkan pesawat segera berangkat, tak lama pesawat mundur, dan pramugari-pramugari bersiap memperagakan perangkat keselamatan yang ada didalam pesawat. Sempat terpikir, apakah akan berguna bila nanti terjadi hal-hal yang tidak diinginkan? Yah sudahlah, mungkin akan nyangkut sedikit informasinya.
Tak lama pesawat pun take-off, mulus, dan pesawatnya pun terasa lebih tenang, dibandingkan dengan penerbanganku sebelumnya menggunakan Lion Air, pesawatnya banyak bergetar.
Dikejauhan, kulihat awan tebal, yah, bakalan gajluk-gajluk nih pesawatnya. Dan benar, sewaktu melewati awan-awan tersebut terasa pesawatnya seperti berjalan diatas jalan berbatu, gajluk-gajluk deh.
Tiba-tiba. HEGH. Pesawat terasa seperti jatuh, drop. Jantung seperti tertinggal diatas, badan jatuh kebawah. Wah, apaan nih? Kok bisa gini?
Semua penumpang yang bisa kulihat disekeliling dalam keadaan panik. Semua berdo’a mohon keselamatan, akupun berucap ‘Subhanallahu walhamdulillahi wa laailahaillallahu Allahu Akbar’, ‘Masya Allah’, sementara yang lain berucap kalimat syahadat. Disebelahku, seroang lelaki yang berpenampilan lumayan tenang sebelumnya, terlihat begitu tegang dengan muka pucat.
Kejadian drop tersebut berlangsung kira-kira 2 detik, mirip seperti bila kita naik Kora-kora di Dunia Fantasi. Bedanya didalam Kora-kora kita sadar memang begitulah permainannya, sedangkan didalam pesawat ini, kita tidak tahu apakah pesawat akan jatuh betulan atau tidak.
Setelah melewati awan tersebut pesawat kembali terbang normal, dan begitu melewati awan lagi, kembali terjadi lagi. HEGH. JATUH LAGI. MASYA ALLAH, langsung kupasrahkan diri sambil terus berdo’a. wah, sepertinya acara mudik ini hanya berhasil 75% saja, kepastian berangkat sudah kudapat, tapi ternyata tidak bisa sampai dengan selamat, pikirku.
Dan lagi, dan lagi, pesawat terus menerus berkali-kali terasa drop setiap melalui awan tebal.
Tapi seperti biasa, kebiasaan aneh padaku sepertinya tidak berkurang walaupun aku dalam keadaan panik seperti ini. Aku tertawa-tawa dalam ketakutanku, mungkin untuk menghilangkan perasaan takut. Lalu sambil menengok kesamping, kulihat disebelahku memandangku dengan wajah aneh dengan muka pucat pasi, akupun bertanya padanya “Apakah mukaku pucat?” tetap sambil tertawa. Dia jawab iya, masih dengan pandangan aneh dan muka yang pucat. Mungkin pikirnya sial banget, bakal mati bersebelahan dengan orang gila.
Bahkan sampai akhirnya pramugari mengumumkan dalam waktu beberapa saat lagi kami akan tiba di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, tidak berapa lama kembali kami melewati awan tebal, dan drop lagi. Bahkan hingga bandara mulai terlihat dari atas, awan masih menghalangi, sehingga gajluk-gajluk akibat pesawat menabrak awan pun masih terasa, sehingga perasaan khawatir masih tetap terasa.
Baru setelah roda pesawat terasa menjejak tanah, perasaan lega pun tercapai, ‘Masya Allah Alhamdulillah’ ucapku. Untuk saat ini, sepertinya pesawat bakal nyusruk ke sawah seperti kejadian di Yogya pun jauh lebih baik daripada banyak kejadian beberapa saat sebelumnya, karena bila pesawat nyusruk, usaha untuk menyelamatkan diri masih terbuka, karena pesawat sudah diatas tanah. Dan ternyata pilot masih bisa mengendalikan dengan baik pesawatnya, hingga akhirnya parkir, dan belalai terpasang dengan baik dipintu pesawat. Pada saat ini semakin banyak kudengar ucapan syukur terucap dari penumpang.
Sementara aku sudah semakin tenang dan mulai mengobrol dengan rekan disebelah, yang walaupun masih terlihat pucat – tentunya sama dengan wajahku – tapi sudah bisa tersenyum. Dan ternyata dia sudah dapat informasi, bahwa antara Jakarta-Palembang saat itu memang sedang berawan tebal dan ada kecenderungan untuk hujan. Dalam hatiku berkata, pantesan sepertinya tegang banget, sepertinya dia sudah mengantisipasi kemungkinan terburuk, dan mendapatkan kejadian ini.
Sewaktu mau keluar dari pesawat, kebetulan aku berpapasan dengan co-pilot-nya, jadi kutanyakan, kenapa bisa kejadian drop begitu. Jawabannya “Iya Pak, kebetulan melewati awan”. Lah, tidak ada kejelasan kenapanya.
Setelah turun dari pesawat pun masih kudengar beberapa penumpang yang bilang ini penerbangan yang bikin sport jantung.
Kupandang langit, awan begitu tebal menyelimuti, dan sebagian berwarna abu-abu, tampak dikejauhan sudah mulai turun hujan.
Lebih dari itu, ternyata mudik kali ini diizinkan Allah berhasil 100%, seperti mudik-mudikku sebelum ini. Aku dijemput orang-tua, anak-istri dan adik+ipar+keponakan. Alhamdulillah.
Dua hari sebelum lebaran, setelah akhirnya kerjaan bisa diselesaikan semua, jam 9 malam baru bisa pergi menuju bandara Soekarno-Hatta. Memang rencananya mau naik pesawat, atas pertimbangan kemacetan sudah mulai nampak di pelabuhan Merak.
Dengan yakin langsung naik kopaja ke Blok M, dengan harapan bisa naik Damri Bandara. Perjalanan hanya setengah jam, tetapi ternyata tidak nampak ada tanda-tanda Damri Bandara, padahal fisiknya cukup besar untuk tidak terlihat, tapi agar lebih yakin masih juga berusaha mendatangi ke lokasinya biasa berada.
Karena memang sudah tidak ada, ya, tetap tidak ada-lah si Damri Bandara.
Akhirnya, keputusannya adalah naik bis ke arah grogol untuk kemudian dilanjutkan menggunakan taxi ke bandara, tujuannya jelas, untuk melakukan sedikit penghematan, setelah penghematan terbesar telah lewat peluangnya yakni naik bis ke Merak, disambung dengan naik kapal, lalu naik angkot ke Stasiun Tanjung Karang, baru kemudian menuju Palembang.
Penghematan besar peringkat kedua pun sudah terlewat, yakni naik Damri Bandara, karena sudah ditinggal.
Sebelum naik bis, maunya nyari cemilan dan minuman untuk selama menginap di Bandara, karena sepertinya sudah tidak ada flight ke Palembang diatas jam 9 malam.
Jadilah mampir sebentar ke Blok M, sebagai penghuni terdekat yang menyediakan kelengkapan cemilan dan minuman.
Langsung kebawah menuju supermarket yang akhir-akhir ini semakin sedikit populasinya.
Belanja susu, air mineral, dan sari buah, si cemilan ternyata tidak ada yang menarik hati, jadi tidak ada yang dibeli. Sebetulnya maghrib tadi belum sempat diisi makanan pokok, baru ditambal dengan 2 buah risoles saja, jadi muncul sedikit keinginan untuk beli makanan pokok, tapi dengan pertimbangan toh di bandara pasti ada makanan pokok cepat saji yang tentunya buka 24 jam, ya sudah, dari pada repot bawaannya semakin banyak, mending makan disana saja toh.
Ya sudah, keluar saja, menuju tempat bis biasa berkumpul, sambil sekali lagi melewati area si Damri Bandara, tetap dengan harapan tadi tidak terlihat dan sekarang baru terlihat.
Yah dasarnya memang sudah tidak ada ya, tetap tidak ada-lah si Damri Bandara.
Sewaktu melalui lokasi tempat berdiri Damri Bandara, ada seseorang berteriak, seseorang yang menggunakan tempat Damri Bandara biasa berdiri untuk meletakkan alatnya.
“Ke bandara Pak?” Iya, kujawab. “Naik taksi aja yuk” Nggak ah, mahal, kusahuti lagi sambil terus melangkah.
“Lima puluh ribu aja Pak” Waks lima puluh ribu? rupiah tuh? waduh murahnya, kupikir. Karena bila dihitung, tentunya akan selisih sedikit bila naik taksi dari Grogol.
Bener ni Pak, aku bertanya dengan mata berbinar dan menghentikan langkahku.
“Iya, sekalian nyari penumpang dari bandara” katanya sambil membukakan pintu depan.
Waks, yakin banget yak, sepertinya pengalaman nih orang.
Setelah banyak obrolan agak aneh selama di taksi, akhirnya sampai juga di Bandara. Langsung menuju loket terdekat di Terminal 1A, si Lion Air/Wings Air. Loketnya masih buka, jadi bisa langsung bertanya, tiket ke Palembang berapaan Bang? Iya, agak jarang sih bertemu penjual tiket berkelamin Bang. “Adanya jam 10.30 yang paling pagi Pak, harganya enam ratus sembilan puluh sembilan ribu rupiah”. WADUH, mahal amat, sambil membelalakkan mata dalam hati.
Ada jam lainnya nggak Bang, yang flight malam atau flight terakhir? “Flight terakhirnya 16.30 Pak, belum malam”. Oh... kalo itu berapa Bang? “Sama Pak, enam ratus sembilan puluh sembilan ribu rupiah”. Waduh, kalau untuk tiket Go Show masih ada Bang? “Itu tiket Go Show Pak”.
Oh, ya udah Bang, nanti saya kembali deh.
Keluar deh dari area loket Lion Air/Wings Air. Menuju ke sebelahnya, ternyata si tiket murah se-Asia. Tapi areal loketnya sudah padam lampunya. Eh kebetulan ada seorang pemakai rok keluar dari pintunya, sambil menutup pintu, lalu berjalan dengan cepat menuju parkiran. Dengan sigap kususul, lalu setelah dekat kutanya, Mbak, tiket ke Palembang masih ada nggak ya? “Wah besok pagi aja ke loket Pak”. Emang yang ke Palembang jam berapa Mbak? tanyaku sambil terus berjalan mengiringinya. “First flight-nya 10.40 Pak”. Loketnya buka jam berapa Mbak? “Jam 6 sudah buka Pak”. Terima kasih Mbak. Dibales senyuman. Lalu kutinggalkan si pemakai rok tersebut.
Menuju area selanjutnya, yang ternyata adalah area kedatangan, Domestic Arrival, dari Terminal 1A. Jadi seharusnya selanjutnya adalah Terminal 1B area keberangkatan, Domestic Departure, dong ya. Eh betul ding. Ternyata, baru ngeh sekarang, pengaturannya seperti itu toh.
Di Terminal 1B ada Sriwijaya Air dan Batavia Air yang memiliki penerbangan ke Palembang, sayang sudah gelap semua loketnya.
Jalan terus, masih ada Terminal 1C area keberangkatan, dan masih ada Adam Air yang walaupun sering jatuh, tapi memiliki penerbangan ke Palembang. Jadi ya udah deh, cobain ajah, toh kalaupun jatuh berarti sudah ajalnya nyampe mau bilang apa.
Dan setelah diperhatikan ternyata di setiap Terminal ada layar yang menunjukkan jadwal keberangkatan dan kedatangan.
Setelah lihat layar di Terminal 1C area keberangkatan, ternyata Adam Air memiliki flight yang paling pagi, jam 06.50.
Berarti yang mesti ditunggu pertama adalah depan pintunya Adam Air, karena bila keberangkatan jam 06.50 tentunya orang harus check-in 2 jam sebelumnya yakni jam 04.50, jadi kudu buka duluan nih loket ke Palembangnya.
Sekarang urusan perut harus segera dibenahi, walaupun tidak terasa lapar sama sekali, tapi kewajiban kita harus dipenuhi sebelum dituntut oleh pemda selaku pemngurus badan.
Pas muter badan, ngelongo' keatas, wah ada KFC, langsung sebar pandangan ke sekeliling nyari McD, ternyata tak terlihat, dan sepertinya juga tadi tidak terlihat sewaktu jalan, adanya A&W, donat kalah pamor, dan restoran-restoran tidak terkenal.
Jadinya naik keatas, nyamperin KFC, wah gawat, sudah beres-beres ternyata, belum sempet nanya, simasnya sudah nyaut “Sudah tutup Pak”. Loh, gak 24 jam toh? “Nggak Pak”.
Setengah panik, langsung turun, nyamperin A&W selaku penjual makanan cepat saji lainnya, wah untung nih masih ada orang-orang yang makan, langsung masuk ke Counter-nya. Belum sempet pesen, simasnya sudah nyaut “Maaf Pak sudah tutup”. Lah, gak 24 jam juga toh? “Nggak juga Pak”. Lah kok simasnya jawabnya pake juga, sok tau aja nih simas.
Buru-buru ke A&W lainnya, karena A&W ini ada di tiap terminal 1, ternyata semua sudah tutup. Tambah panik, pikir-pikir ya udah deh, gak ada nasi, terpaksa donat deh, jadinya meluncur ke donat kalah pamor. Sial. Malah sudah tutup kerai.
Nyamperin restoran-restoran tidak terkenal itupun sudah pada tutup.
Eh baru inget, tadi pas lewat perasaan masih ada masmas yang manggil-manggil, sepertinya sih restoran donat juga, tapi belum pernah lihat ditempat lain, dan ternyata ini dia restoran yang buka 24 jam. Country Choice namanya. Seperti nama susu UHT. Daripada lapar dan lagian takut juga ama tuntutan pemda, mending beli donat aja deh. Beli setengah lusin dan minuman coklat dingin. Terus cari kursi terdekat buat makan.
Pilih donatnya yang coklat semua, karena sepertinya yang lain kurang menarik.
Setelah dibuka, ambil satu yang atas tengahnya coklat penuh, terus dimakan. Lumayan enak rasanya, walaupun rotinya tidak selembut donat yang sedang sangat naik pamor.
Terus nyobain donat yang berbentuk roti penuh, berisi coklat. Makan setengahnya, dah nggak mampu nerusin sisanya.
Sial banget, dasar orang kampung, makan roti satu-setengah pun dah kekenyangan, jadi nggak kemakan dah 4.5-nya. Untung masih bisa ngabisin coklat dinginnya.
Istirahat sebentar, untungnya bangku sudah kosong. Nyontek di sebelah-sebelah pada baringan beralaskan tasnya masing-masing biar agak empuk punggungnya. Pejaman mata memang bisa menenangkan pikiran, relaksasi yang nikmat karena sembari baringan. Bangku bandara yang lebar benar-benar memberi kenikmatan lebih.
Setengah jam dalam keadaan hilang, terbangun tanpa ada penyebab. Sepertinya relaksasinya mendekati sempurna, sehingga terbangun dalam keadaan segar. Duduk sebentar sambil melihat keadaan sekitar. Tak lama dihampiri oleh seseorang yang terlihat sedikit kebingungan.
“Mas berangkat pagi besok ya?” tanyanya. Iya, mo kemana Mas? Tanyaku.
“Ke Kendari”. Wih daerah Sulawesi, langsung teringat teman SMA yang lahir disana, yang banyak memberi kemudahan sewaktu SMA dulu, thanks to him. “Belum dapet tiket nih, Mas sudah dapet?” tanyanya. Belum juga, rencananya nginep disini ya biar bisa ngantri tiket GoShow, siapa tau masih bisa dapet tiket ke Palembang. “Oh ke Palembang ya Mas? Kira-kira masih dapat tiket nggak ya?”. Yah, saya kesini memang sudah siap untuk mendapatkan yang terburuk, tapi yang penting usahanya gak berhenti. “Iya, tadi sempat nanya ke Om, tiketnya bisa lebih dari 2 kali tiket normal. Terus Omku bilang lebih penting kangennya orang tua daripada uang tersebut, uang masih bisa dicari. Kupikir ada benarnya. Jadi tadi langsung berangkat cuman pake ini nih”, katanya sambil nunjukin 2 kantong plastik supermega swalayan. Kata-kata omnya sih memang bener, tapi kalo gak punya duitnya ya gak bisa juga dipaksakan toh.
Setelah dia mengajak ngobrol panjang, akhirnya jam menunjukkan pukul 3 pagi. Yang ternyata orang-orang mulai banyak sekali berdatangan. Kubilang padanya aku mau mengantri, takut kehabisan tiketnya. Segera kuambil barang-barangku, untuk kemudian mengantri didepan pintu masuk kantor Adam Air.
Kulihat sekitar, orang-orang sudah mulai mengantri didepan pintu masuk ruang Check-In. Antrian yang cukup panjang, sampai 5 meteran lebih, keluar dari pembatas antrian.
Setengah jam menunggu kulihat dijalan ada mobil minibus berhenti dengan logo Adam Air, wah, agak bersemangat jadinya. Banyak yang turun dengan seragam Adam Air, tapi tidak ada satupun yang berjalan kearahku, yang berdiri didepan kantor mereka. Begitupun beberapa mobil selanjutnya yang berlogo Adam Air, tidak ada yang mampir ke kantor mereka ini. Dan sudah mulai banyak orang yang berdiri dibelakangku untuk mengantri tiket Adam Air ini, yang sedihnya sebagian wajah mereka tampak seperti berasal dari daerahku, yang berarti saingan dong.
Sekitar setengah 5, tiba-tiba ada 3 Mbak berseragam Adam Air yang berjalan mengarah ke kantornya. Dengan segera aku menyingkir memberi mereka jalan, tapi tetap dijalur antrian yang benar. Salah satu Mbak Adam Air berjongkok membuka kunci, setelah terbuka dia berikan kuncinya kepada Mbak yang lain, dan dia berlalu ketempat lain.
Mbak yang menerima kunci segera membuka pintunya lalu masuk, dengan tak lupa menyeret kursi panjang untuk menghalangi pintu masuknya, yang tentunya cukup jelas bisa diartikan, pintu tersebut belum terbuka untuk umum. Tanpa menyalakan lampu – karena cukup mendapatkan penerangan dari ruang Check-In yang hanya berbataskan kaca dengan ruang kantor – Mbak-nya menyalakan beberapa komputer, untuk kemudian ke pojok ruangan untuk berhias.
Seterusnya beberapa karyawan hilir-mudik keluar-masuk kantor.
Pukul 5 pagi, kursi penghalang pintu digeser oleh salah satu karyawan pria, untuk kemudian masuk lagi, tanpa sepatah katapun terucap. Dengan rasa penasaran, kulongokkan kepala kedalam pintu untuk bertanya apakah sudah diperbolehkan masuk. Tetap tidak ada yang menjawab. Wah, hebat bener pelayanannya, sepertinya karyawannya sudah terlampau capek – cukup terlihat jelas di muka mereka, sehingga untuk menjawab pertanyaan pun sudah males.
Karena tidak ada yang menjawab, aku langsung masuk, diikuti oleh beberapa orang dibelakangku. Aku menuju ke kursi terdekat, dan langsung bertanya, apakah masih ada tiket untuk ke Palembang. Kupikir si Mbak tidak menanggapi, tapi aku tetap duduk didepannya, karena sepertinya dia sibuk membuka-buka lembaran kertas, untuk kemudian dia bertanya ke rekan disebelahnya, dia menanyakan kode penerbangan, setelah itu dia menjawab “Sudah tidak ada tiket lagi Pak”.
Dengan jawaban tersebut, aku bergegas keluar menuju Terminal 1A, loket AirAsia, karena dari info sebelumnya AirAsia buka pukul 6 pagi.
Tiba di loket AirAsia, masih jam 5.20 pagi, tapi untungnya sudah ada yang datang, dan loketnya sudah buka, sehingga aku bisa segera bertanya apakah masih ada tiket ke Palembang hari ini, yang sayangnya tidak ada tiket tersisa.
Kulihat disebelah loket LionAir/Wings Air pun sudah buka, aku pun menuju kesana, ternyata kutrima jawaban yang sama seperti sebelumnya. “Masih ada tiket yang enam ratus sembilan puluh sembilan ribu”. Jadinya kujawab dengan jawaban sebelumnya, “Oh, ya udah Mbak, nanti saya kembali”.
Ke Terminal berikutnya, dimana ada Sriwijaya Air yang masih gelap, lalu ke Batavia Air yang sudah terang kantornya, dan menunggu sambil berdiri, karena saat itu tempat duduk pembelian tiket sudah penuh. Lalu salah seorang lelaki yang ikutan mengantri menghampiri, “Berangkat kemana Pak?”. Ke Palembang, jawabku. “Oh”. Sahutnya sambil berlalu, dengan heran kupandangi kepergiannya. Ternyata dia menghampiri orang lain yang juga mengantri, wah sepertinya calo nih, setelah kusimak percakapan mereka, ternyata dia memang menawarkan tiket. Ternyata masih ada calo toh.
Setelah orang didepanku menyelesaikan transaksinya, aku segera maju dan bertanya apakah masih ada tiket ke Palembang. Yang dijawab oleh mas disebelah, “Masih Pak”. Berapa Mas? “Sebentar Pak”. Langsung dia mencari pada daftar harga tiket yang dimilikinya, sambil tetap melayani pelanggan didepan dia. “380 ribu Pak”, katanya, sambil menengok kearahku. Wih, jauh lebih murah nih. Almost half of Lion Air. Boleh saya booking dulu? Kataku. “Tidak bisa Pak, tiket ini hanya bisa dibeli, bukan dipesan” katanya. Waduh, masih ada Sriwijaya Air yang belum dicek harganya nih, gimana dong.
Saya ambil satu Mas, kataku membulatkan hati. “Boleh pinjam katepenya Pak?”
Segera kuambil tanda pengenalku dari dompet, dan kuberikan padanya. Disiapkannya satu tiket untukku yang diserahkannya setelah selesai, dan kubayar. “Jam 10 sudah bisa Check-In Pak” katanya sambil menyerahkan kembalian uangku.
Leganya. Akhirnya kepastian ketemu orangtua, anak-istri, dan saudara di Palembang tinggal 50%. Tinggal memastikan pesawat berangkat, dan kepastian pesawat tiba dengan selamat di Palembang.
Aku pun keluar dari kantor Batavia Air dengan muka berseri-seri, tersenyum-senyum sendiri.
Kucari tempat duduk kosong agar bisa berbaringan lagi, lumayan capek juga. Setelah dapat tempat duduk kosong segera kududuki, pasang tas, lalu berbaring, menenangkan pikiran, memejamkan mata, dan segera tertidur lagi.
Sekitar pukul 8 aku terbangun, wah lumayan dapat tidur sekitar sejam. Disekeliling sudah sangat ramai, orang hilir-mudik, menggendong-gendong, menyeret-nyeret tas, membawa-bawa kereta dorong berisi tumpukan tas.
Sambil menunggu jam 10, kunikmati suasana sekitar, sambil mengamati siapa tau ada yang kukenal. Tapi dari ratusan orang tersebut tidak satupun ada wajah yang kukenal.
Jam 10 kurang 5, segera kuberesi perlengkapanku, dan beranjak ke ruang Check-In, lalu ke loket 8 untuk Check-In. Karena belum buka, aku berdiri mengantri. Jam 10 tepat seorang Mbak berseragam Batavia Air masuk ke belakang loket, kemudian memasang plang bertulisan ‘Palembang’, sedikit kubantu memasangkan karena Mbaknya agak kesulitan. Setelahnya ngantri lagi. Membayar airport-tax.
Masuk kedalam ruang tunggu, diperjalanan kulihat banyak spanduk ‘Free hotspot’, ternyata memang benar dari yang sering kudengar dimilis, bahwa di airport ada free hotspot, lumayan bisa nyambung internet gratisan. Bisa ngecek situasi milis disaat-saat terakhir mau lebaran. Bisa ngeledek rekan-rekan milis yang nggak bisa mudik. Setelah ngambir free-code yang tertempel didekat spanduk ‘Free hotspot’ menggunakan label Tom&Jerry 120, lalu nyari lokasi strategis, buka tas, ambil laptop, nyalain, turn-on the Wi-Fi, nyari sinyal si ‘Free’ deh. Lah kok gak ada yah?
Dengan penasaran aku pindah tempat, tapi tetep tidak dapat sinyal. Yah sudahlah, sepertinya belum harinya nih.
Jadinya ketik-ketik aja deh. Jadilah aku masuk ke lobby anjungan yang terhubung dengan pesawat, cari posisi lagi, sekarang posisi yang dicari adalah dekat dengan stop kontak, karena batere hape dan laptop dah kering. Eh ada didekat pos jaga, tersedia 4 stop kontak, aman deh, bisa sekaligus isi 2 batere.
Pesawat berangkat jam 12.45, masih sekitar 2 jam lagi.
Sekitar jam 11.55, ada pengumuman dari pihak bandara, bahwa ada delay sekitar 30 menit untuk keberangkatan ke Pontianak. Wah, kasihan. Eh tapi jangan-jangan kita juga jadi mundur berangkatnya. Jadi sial juga dong.
Tapi ternyata setelah pengumuman tersebut, langsung dilanjutkan dengan pengumuman mengenai keberangkatan ke Palembang, ternyata dimajukan jadi jam 12.15, dan semua penumpang diharapkan naik saat itu juga. Wah dengan bersemangat, semua penumpang ke Palembang bergerak ke pintu anjungan menuju ke pesawat. Ya iya dong, jarang-jarang banget deh denger ada keberangkatan pesawat yang lebih cepat dari jadwal, ternyata bisa mengalaminya langsung. Segera ku-text-message adik di Palembang untuk memberitahukan percepatan keberangkatan ini, agar tidak telat menjemputku. Tidak menunggu balasan darinya, segera kumatikan hape, karena sinyalnya bisa mengganggu instrumen penerbangan.
Setelah kutemukan kursiku, yang dapat nomor 5A, baris depan nih, meletakkan tas di atas, lalu duduk manis dengan muka berseri sambil melihat-lihat jendela luar, 5A dipinggir jendela, wah nikmatnya, sejauh ini kemudahan-kemudahan banyak kudapat. Alhamdulillah.
Baru duduk 10 menit, diumumkan pesawat segera berangkat, tak lama pesawat mundur, dan pramugari-pramugari bersiap memperagakan perangkat keselamatan yang ada didalam pesawat. Sempat terpikir, apakah akan berguna bila nanti terjadi hal-hal yang tidak diinginkan? Yah sudahlah, mungkin akan nyangkut sedikit informasinya.
Tak lama pesawat pun take-off, mulus, dan pesawatnya pun terasa lebih tenang, dibandingkan dengan penerbanganku sebelumnya menggunakan Lion Air, pesawatnya banyak bergetar.
Dikejauhan, kulihat awan tebal, yah, bakalan gajluk-gajluk nih pesawatnya. Dan benar, sewaktu melewati awan-awan tersebut terasa pesawatnya seperti berjalan diatas jalan berbatu, gajluk-gajluk deh.
Tiba-tiba. HEGH. Pesawat terasa seperti jatuh, drop. Jantung seperti tertinggal diatas, badan jatuh kebawah. Wah, apaan nih? Kok bisa gini?
Semua penumpang yang bisa kulihat disekeliling dalam keadaan panik. Semua berdo’a mohon keselamatan, akupun berucap ‘Subhanallahu walhamdulillahi wa laailahaillallahu Allahu Akbar’, ‘Masya Allah’, sementara yang lain berucap kalimat syahadat. Disebelahku, seroang lelaki yang berpenampilan lumayan tenang sebelumnya, terlihat begitu tegang dengan muka pucat.
Kejadian drop tersebut berlangsung kira-kira 2 detik, mirip seperti bila kita naik Kora-kora di Dunia Fantasi. Bedanya didalam Kora-kora kita sadar memang begitulah permainannya, sedangkan didalam pesawat ini, kita tidak tahu apakah pesawat akan jatuh betulan atau tidak.
Setelah melewati awan tersebut pesawat kembali terbang normal, dan begitu melewati awan lagi, kembali terjadi lagi. HEGH. JATUH LAGI. MASYA ALLAH, langsung kupasrahkan diri sambil terus berdo’a. wah, sepertinya acara mudik ini hanya berhasil 75% saja, kepastian berangkat sudah kudapat, tapi ternyata tidak bisa sampai dengan selamat, pikirku.
Dan lagi, dan lagi, pesawat terus menerus berkali-kali terasa drop setiap melalui awan tebal.
Tapi seperti biasa, kebiasaan aneh padaku sepertinya tidak berkurang walaupun aku dalam keadaan panik seperti ini. Aku tertawa-tawa dalam ketakutanku, mungkin untuk menghilangkan perasaan takut. Lalu sambil menengok kesamping, kulihat disebelahku memandangku dengan wajah aneh dengan muka pucat pasi, akupun bertanya padanya “Apakah mukaku pucat?” tetap sambil tertawa. Dia jawab iya, masih dengan pandangan aneh dan muka yang pucat. Mungkin pikirnya sial banget, bakal mati bersebelahan dengan orang gila.
Bahkan sampai akhirnya pramugari mengumumkan dalam waktu beberapa saat lagi kami akan tiba di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, tidak berapa lama kembali kami melewati awan tebal, dan drop lagi. Bahkan hingga bandara mulai terlihat dari atas, awan masih menghalangi, sehingga gajluk-gajluk akibat pesawat menabrak awan pun masih terasa, sehingga perasaan khawatir masih tetap terasa.
Baru setelah roda pesawat terasa menjejak tanah, perasaan lega pun tercapai, ‘Masya Allah Alhamdulillah’ ucapku. Untuk saat ini, sepertinya pesawat bakal nyusruk ke sawah seperti kejadian di Yogya pun jauh lebih baik daripada banyak kejadian beberapa saat sebelumnya, karena bila pesawat nyusruk, usaha untuk menyelamatkan diri masih terbuka, karena pesawat sudah diatas tanah. Dan ternyata pilot masih bisa mengendalikan dengan baik pesawatnya, hingga akhirnya parkir, dan belalai terpasang dengan baik dipintu pesawat. Pada saat ini semakin banyak kudengar ucapan syukur terucap dari penumpang.
Sementara aku sudah semakin tenang dan mulai mengobrol dengan rekan disebelah, yang walaupun masih terlihat pucat – tentunya sama dengan wajahku – tapi sudah bisa tersenyum. Dan ternyata dia sudah dapat informasi, bahwa antara Jakarta-Palembang saat itu memang sedang berawan tebal dan ada kecenderungan untuk hujan. Dalam hatiku berkata, pantesan sepertinya tegang banget, sepertinya dia sudah mengantisipasi kemungkinan terburuk, dan mendapatkan kejadian ini.
Sewaktu mau keluar dari pesawat, kebetulan aku berpapasan dengan co-pilot-nya, jadi kutanyakan, kenapa bisa kejadian drop begitu. Jawabannya “Iya Pak, kebetulan melewati awan”. Lah, tidak ada kejelasan kenapanya.
Setelah turun dari pesawat pun masih kudengar beberapa penumpang yang bilang ini penerbangan yang bikin sport jantung.
Kupandang langit, awan begitu tebal menyelimuti, dan sebagian berwarna abu-abu, tampak dikejauhan sudah mulai turun hujan.
Lebih dari itu, ternyata mudik kali ini diizinkan Allah berhasil 100%, seperti mudik-mudikku sebelum ini. Aku dijemput orang-tua, anak-istri dan adik+ipar+keponakan. Alhamdulillah.
(AYD, 11 - 12 Oktober 2007)