Minggu, Oktober 19, 2008

Martapura (part 1)

Ini adalah pulau kedua setelah Pulau Jawa yang aku pijak. Tidak lama, kurang lebih 7 hari aku berada di Pulau Kalimantan, tepatnya di Martapura.
Diawali dengan telepon dari Bunda yang mengabarkan kalau Bi Ai (adik kandung Bunda, biasa dipanggil Bibi kalau untuk keluarga kami di Bandung) di hari Lebaran (tahun 2007) nanti tidak pulang ke Bandung. Sebagai gantinya, Bi Ai menawarkan agar aku dan bunda berlebaran di Martapura.


“De, kamu mau kalau kita Lebaran di Martapura?”

“Wah, asik tuh. Ade sih mau aja, tapi biayanya khan mahal, Bun.”

“Iya gapapa, Bi Ai minta kita Lebaran disana, dan mau dibayarin uang tiket pesawatnya”

“Mau…mau, Bun.”

Tak pikir lama lagi, aku pun langsung menelpon travel agent yang biasa ku pakai untuk pesan tiket untuk kantor. Bicara dengan Mba Rina dari Joe Travel, pesan tiket Jakarta – Banjarmasin, pulang pergi. Lumayan was-was, takut sudah tak kebagian tiket. Tapi memang sudah rejekinya, aku mendapat tiket satu hari sebelum Lebaran (11 Oktober 2007). Bagusnya lagi aku mendapat tiket Garuda Indonesia dengan harga bagus, seharga Rp.400.000,- dan tiket pulangnya hanya mendapat tiket Lion Air dengan harga yang cukup bagus juga, seharga Rp.399.000,-.

Ini adalah pengalaman pertamaku dan bunda juga yang akan naik pesawat terbang menuju ke Kalimantan. Selama ini hanya bus, kereta dan perahu saja yang sudah pernah ku naiki untuk melakukan suatu perjalanan. Lagi pula akan sangat boros juga kalau aku harus naik pesawat terbang, karena perjalanan paling jauh selama ini hanya ke Solo saja, dan itupun terakhir kesana saat aku kelas 2 SD. Selebihnya ya cuma bulak-balik Jakarta – Bandung saja.

Saat hari keberangkatan, aku dan bunda sudah bangun lebih pagi, karena jadwal penerbangan yang aku punya adalah penerbangan pertama jam 07.20 WIB. Barang bawaan sudah ku packing satu hari sebelum kita berangkat. Jam 04.30 WIB aku dan bunda sudah meluncur ke pool bus Damri di samping gedung Giant, Mega Mall Bekasi, dengan diantar oleh dua tukang ojek langganan. Bus Damri pun meluncur meninggalkan pool menuju Bandara pada jam 05.00 WIB. Aku sudah tak ingat apa-apa, tertidur pulas dalam bus, tersadar saat masuk gerbang tol bandara. Tak lama, aku dan bunda turun di terminal penerbangan Garuda Indonesia, tepat jam 06.15 WIB aku sudah mulai check-in dan menuju tempat boarding pass.

Baru saat itu aku benar-benar masuk kedalam bandara. Kalaupun aku sudah pernah ke bandara, itu hanya untuk mengantar atau menjemput keluarga yang datang ke Jakarta, tidak pernah masuk kedalam. Terlihat wajah bunda yang senang, sama halnya dengan aku. Seumur hidup baru inilah aku naik pesawat. Tapi dibalik wajah senangnya bunda, ada hal yang ia cemaskan.

“De, semoga nanti lancar ya penerbangannya. Semoga ga ada apa-apa ya. Takut kalau nanti
pesawatnya jatuh, Bunda khan ga bisa berenang”

“Iya Bunda, Bismillah aja ya." Jawabku disambung dengan senyuman yang menutupi kecemasan yang kurasakan sama dengan yang bunda rasakan.


Jadwal penerbangan pun sudah makin dekat. Aku dan Bunda memasuki pesawat. Kami duduk bersebelahan di nomor kursi D4 dan D5. Aku duduk persis disamping jendela, dan bunda persis disebelahku. Dia menolak saat kutawarkan duduk didekat jendela, karena ia takut ketinggian. Sabuk pengamanpun sudah terpasang, aku dan bunda sudah duduk manis dengan diawali doa sebelum pesawat yang kita tumpangi lepas landas. Wajah bunda sedikit panik, tapi tak lama pun membaik dan mulai menikmati perjalanan. Karena masih syaum, ya kita pun tidak makan dan minum. Hanya membaca beberapa bacaan yang sudah disediakan oleh para pramugari-pramugari yang cantik. Sesekali aku memejamkan mata yang terasa kantuk, tapi sayangnya tidak bisa ditidurkan.

Kurang lebih satu jam perjalanan, tapi buatku terasa lama. Mungkin karena hanya melihat pemandangan langit, awan dan laut, makanya lama. Dengan sedikit rasa takut aku mengucap syukur kepada Tuhan untuk nikmat yang satu ini. Penerbangan cukup lancar, walaupun sesekali pesawat mengalami guncangan kecil, yang bahasa londonya menyebut Turbulence. Selama perjalanan tidak hentinya mengucap kalimat istigfar, apalagi saat pesawat teguncang. Sesekali melihat bunda yang ada disebelahku, dia hanya memejamkan matanya dan bibirnya bergerak kecil, seperti sedang mengucapkan suatu kalimat, yang ku tahu itu adalah doa. Kurasakan kecemasannya, karena aku pun merasakan hal yang sama. Ku genggam tangannya untuk menenangkannya yang sekaligus menenangkanku juga.

***

Tepat jam 8.30 WIB, Bi Ai sudah menunggu di depan gerbang kedatangan bandara Hasanudin, Banjarmasin. Perjalanan yang sudah cukup mencemaskan tadi pun langsung hilang, setelah akhirnya aku menginjakkan kaki di pulau Kalimantan, Banjarmasin, dan melihat senyum hangat Bi Ai yang telah menjemput kita berdua. Kami pun meninggalkan bandara menuju rumah Bi Ai di Martapura, ditempuh kurang lebih satu jam perjalanan untuk sampai di rumahnya.

Kali ini aku lebih menikmati perjalanan menuju rumah di Martapura. Menikmati udaranya yang bisa dibilang masih cukup segar dibandingkan di Jakarta, yang sudah penuh dengan asap kendaraan bermotor. Cuacanya memang terasa panas, tapi udaranya segar tidak terasa gersang. Unit perumahan disana pun belum terlalu padat, masih banyak lahan-lahan kosong yang belum terisi dan dibangun perumahan atau fasilitas umum. Situasi jalanannya pun lancar, tidak ada kemacetan. Benar-benar mendamaikan pikiran, tidak membuat stress.

Malam harinya, setelah berbuka puasa, takbir sudah berkumandang, aku dan Bi Ai ke luar rumah menuju rumah panti untuk membayar zakat fitrah. Dilanjutkan menuju rumah Emak Tua, yaitu ibu tua yang ditemui Bi Ai di jalan (tahun 2006), lalu sejak itu Bi Ai rutin mengunjungi Emak Tua untuk mengirim makanan atau sekedar menengoknya. Lagi-lagi ada hal yang membuatku terkesan, keramahan dan saling bantu antar sesamanya masih sangat tinggi. Bagaimana tidak, saat aku dan Bi Ai mencari rumah kontrakan Emak Tua yang baru, warga disana pun langsung membantu mencarikan dengan mengantar kami ke rumah Emak Tua. Diantar sampai ke rumah dan tanpa minta imbalan apapun. Kalau di Jakarta, pastinya sudah jarang sekali hal ini ditemukan. Warga Jakarta yang kini kehidupannya cenderung individual, membuat sikap saling membantunya pun berkurang. Kalaupun ada, mungkin hanya basa-basi saja, lebih besar ke rasa khawatir, takut dan siaga, karena Jakarta sudah tidak cukup aman. Jadi, antara orang baik dan orang jahat sudah susah dibedakan.

Miris sekali melihat kondisi Emak Tua. Umurnya yang sudah 70 tahun masih harus bekerja, berjualan sapu ijuk untuk membiayai hidupnya sendiri yang tidak ada sanak saudara. Emak Tua yang tinggal di rumah kontrakan, dengan kondisi rumahnya yang terbuat dari papan saja dan cukup kecil. Sempit, tidak layak untuk ditinggali, apalagi Emak Tua ini di rumah kontrakannya terisi sampai 3 orang lainnya, dengan tujuan agar membayar uang kontraknya bisa patungan sehingga lebih terasa murah.

Esok paginya, Idul Fitri pun tiba. Aku dan Bi Ai menuju mesjid untuk melaksanakan Sholat Ied, kupanjatkan doa, puji dan syukur kepada-Nya atas nikmat yang sudah diberikan kepadaku dan Bunda. Setelah sholat pun aku dan Bi Ai kembali pulang. Sungkem dan mencium pipi Bunda, meminta maaf atas kesalahan yang sudah ku perbuat kepadanya. Bunda yang setia menunggu di rumah, yang kebetulan sedang berhalangan sehingga tidak mengikuti sholat Ied, sudah menyiapkan santap makanan khas Idul Fitri, ketupat dan opor ayam.

Hidup sehat, itu yang tepat diucapkan selama tinggal di Martapura. Tak ada polusi dan kemacetan. Terhindar dari sesak napas dan stress. Aku dapat melihat sinar matahari dibalik awan abu-abu saat cuaca mulai mendung dan hujan di siang hari. Melihat banyak taburan bintang di malam hari. Suara jangkrik dan katak yang saling bersautan, menyanyikan lagu alam. Kabut putih dan embun dingin yang menyapaku di setiap paginya. Benar-benar kota yang nyaman.

Buatku, Martapura ini lebih tepat disebut kota santri, diluar dari hasil alamnya yang luar biasa, yaitu batu alam seperti intan yang terkenal dari Martapura, kehidupan masyarakat dan kultur disana dirasakan sangat islamiah. Ramah, sopan, dan taat beribadah. Aku pun sungkan sekali apabila keluar dari rumah memakai celana pendek. Ya, walaupun memang tidak dilarang untuk memakainya.

Sudah beberapa hari aku melewati waktuku di Martapura, aku merasa betah. Tenang dan nyaman, membuat aku jatuh cinta terhadap kota ini. Walaupun hanya tinggal dirumah saja, itu tidak membuatku bosan. Memang jauh berbeda dengan kehidupan di Jakarta, yang penuh aktivitas dan kegiatan. Tidak berlaku di Martapura, meskipun kegiatan tetap berjalan, Martapura tetap memberikan kenyamanan dan tidak sumpek. Jarang ditemui tempat hiburan atau tempat perbelanjaan. Yang banyak dijumpai malah pasar dan warung-warung tradisional yang kalau di Jakarta sudah sangat jarang kita jumpai. Mini market merajalela menyingkirkan warung-warung tradisional rumahan, sehingga menyebabkan masyarakat Jakarta menjadi masyarakat yang konsumtif.
to be continue...

Ikan Hiu Makan Tomat, Thank You Very Much

Semua ini hanya ekspresi jiwa dan pikiran sendiri yang ingin bebas, dengan norma kesopanan yang masih dijunjung guna tidak menyakiti orang lain. Tidak dilarang berkomentar atau mengkritik, hanya di sini dilarang iri dan sirik. Jika sirik dan iri, silahkan bikin Blog saja.