Rabu, November 19, 2008

Bookfair 2008 & IndoComtech

Jum’at (14 Nov 08), hari saya cuti kerja. Cuti legal, dengan ijin yang diajukan ke Ibu Bos mengurus kartu ATM yang tanggal berlakunya sudah masuk masa expired. Jum’at pagi, pukul 06.30 WIB saya sudah sampai di kantor site Cikarang. (Loh kok, ngantor? Bukannya cuti?).

Karena satu dan lain hal, saya pun mampir dulu ke kantor yang di Cikarang, kebetulan juga bank yang mau saya tuju itu di daerah Cikarang juga, jadi ya sekalian saja. Sambil menyelam minum air, begitu kata orang-orang pada umumnya.

Selesai semua urusan di kantor site Cikarang, saya pun beranjak ke tujuan kedua yaitu Bank Mandiri untuk urus kartu ATM. Tepat pukul 11.00 WIB saya meninggalkan kantor. Kurang lebih satu jam setengah saya di Bank Mandiri. Setor uang dan menunggu antrian bertemu dengan Customer Servicenya untuk tukar kartu ATM Mandiri.

Setelah urusan utama pun terselesaikan, saya tidak langsung pulang ke rumah seusai urusan dari Bank Mandiri. Keluar dari Bank, saya meluncur ke shuttle bus Cikarang. Shuttle yang menyiapkan armada bus dengan tujuan Cikarang – Blok M, lewat Komdak. Saya naik bus setelah kurang lebih menunggu 10 menit di shuttle dengan makan 3 potong kue untuk ganjal perut yang lapar, karena pagi tidak sarapan dan siangnya belum makan siang.

Jum’at (14 Nov 08), merupakan hari ketiga pameran BookFair 2008, Games dan IndoComtech yang berlangsung di JCC, Senayan, Jakarta. Tidak mungkin saya melewat event ini, oleh karena itu akhirnya disempatkanlah datang seusai menyelesaikan semua urusan yang ada.


Bookfair 2008

Cuaca siang hari itu cukup bersahabat, berawan, tidak ada terik panas matahari. Saya turun dari bus Cikarang dan berjalan melintasi shuttle busway Polda Bawah sampai gerbang pintu Gelora Bung Karno dan menuju ke JCC dengan menggunakan jasa ojek. Di sepanjang jalan saya melihat orang lalu lalang yang menuju JCC dan pulang dari JCC. Parkiran pun terlihat padat, jejeran mobil sudah tertata rapi tanpa ada celah, memadati lahan parkiran JCC.

Turun dari ojek, saya pun langsung menuju lobby gedung. Tidak langsung masuk kedalam area pameran Bookfair, saya tertahan di warung Sunset Policy. Kebetulan saya belum urus NPWP, tanpa berpikir lama pun saya mengisi form NPWP dan mengantri di tempat pembagian nomor registrasi. Setelah memberikan form yang sudah saya isi beserta fotocopy KTP, saya mendapat nomor urut 371, yang nanti akan digunakan sebagai nomor untuk mengambil kartu NPWP nya langsung di kantor Pajak, Gatot Subroto, pada hari Rabu (19 Nov 2008).

Satu urusan lagi terselesaikan, benar-benar cuti yang tidak sia-sia, kerjaan oke, urusan kartu ATM beres, dan bonus mengurus NPWP.

Saya masuk ke dalam area pameran dengan diawali pemeriksaan tas oleh security. Booth-booth pameran terlihat berjejer rapi, poster dan brosur menghiasi booth memberikan penawaran banyak diskon yang pastinya membuat pengunjung termasuk saya tergiur. Jujur saya kalap melihat semua booth-booth buku yang menawarkan banyak diskon. Bayangkan saja, buku-buku import dijual dari harga Rp. 5.000 – Rp. 150.000 saja. Alhasil saya pun membeli dua buku import dengan harpa per bukunya hanya Rp. 5.000, sehingga saat di kasir saya hanya mengeluarkan uang besar, cukup Rp. 10.000 saja.

Banyak penerbit besar yang buka booth juga disana, salah satunya, Kompas Gramedia, Elex, Mizan, dll. Mereka pun juga memberikan harga-harga yang sangat menggiurkan. Saya berkeliling, satu demi satu booth saya masuki. Mencari buku yang saya cari dan pastinya mencari penawaran buku dengan harga yang murah. Di Pameran tidak hanya booth buku saja ya ada, tapi acara talkshow pun diselenggarakan disana. Saat saya berkeliling di dalam area pameran, talkshow mengenai bedah buku Tan Malaka sedang di selanggarakan. Pengunjung Talkshow ini lumayan banyak, sehingga saya sudah tidak mendapatkan tempat duduk untuk menonton talkshow. Saya pun meneruskan berjalan mengelilingi pameran.










Sesekali saya mengambil foto dengan menggunakan kamera handphone, mengabadikan suasana pameran. Mata saya lari sudah tak terkontrol, melihat buku-buku dan penawaran yang diberikan. Luar biasa, setiap booth bersaing dengan memberikan harga yang terbaik. Bagaimana tidak tergiur, di booth Kompas Gramedia memberikan harga yang luar biasa, buku-buku bagus dijual dengan harga mulai Rp. 10.000. Buku karyanya Remy Sylado, Biografi Om Pram (Pramoedya Ananta Toer), karya Agus Noor, dll. Sampai penawaran menariknya adalah harga paket super murah untuk buku-bukunya Om Pramoedya, yang di jual seharga Rp. 250.000, dan karya Mba Ayu Utami, antara lain; Saman, Larung, dan Bilangan Fu, dijual dengan harga Rp. 95.000. Kalap…kalap…. Benar-benar kalap.

















Sudah tak bisa menahan diri lagi kalau ada tawaran harga buku murah, rela deh, uang jatah untuk jajan seminggu dipakai untuk membeli buku saja. Tidak sering ada acara seperti ini, jadi ya kalau saat ada pun langsung dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Adanya event ini membantu saya untuk menambah koleksi buku yang saya punya, yang nantinya akan mengisi rumah baca yang saya idam-idamkan.

Setelah saya puas berkeliling pun, saya memutuskan untuk pulang. Lagi-lagi tidak langsung pulang. Keluar dari pameran buku, saya menuju Plaza Semanggi untuk makan malam, sekaligus bertemu dengan seorang sahabat untuk mengantar Flashdisk. Hujan rintik-rintik menemani saya makan di restoran ayam bakar di Plaza Semanggi, sambil menunggu sahabat yang belum datang juga. Makan sambil browsing dan chatting, tempat makan yang sangat nyaman, harganya murah, enak, dan yang pasti ada fasilitas hotspot-nya yang membuat saya betah.

Tak lama kemudian sahabat saya pun datang. Seperti biasa, dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saat dia melihat tas belanjaan berisi buku-buku yang saya beli di pameran tadi.

“Borong berapa banyak, Ka?” tanyanya dengan senyuman yang sedikit meledek.

Urusan diantara kami pun terselesaikan, dan makan malam bersama berjalan sesuai dengan rencana.

Nah, yang ini, nih, yang diluar rencana sebelumnya. Saat saya sedang makan, saya menyambi sambil chat dengan seorang teman, kita ngobrol tentang pameran buku dan komputer, yang ternyata teman saya satu ini ada rencana untuk datang ke pameran malam hari itu juga bersama pacarnya. Dan dia ajak saya untuk datang ke pameran lagi.
Hah? Kesana lagi? Ga nolak deh, he he he….

Setelah makan malam selesai, saya pun dijemput di Plaza Semanggi, menuju JCC lagi. Sepertinya memang belum puas, sampai-sampai diajak lagi pun saya tidak menolak. Pas kebetulan juga ada satu hal yang belum kesampaian didapat. Awal berkunjung tadi, saya ragu untuk membeli beberapa buku. Tapi memang sudah jodohnya dengan buku itu, akhirnya balik lagi ke pameran, dan buku yang tadi ragu dibeli akhirnya jadi dibeli. Kalap…makin kalap, padahal Cuma masuk ke satu booth saja, ke Kompas Gramedia, 5 buku pun langsung dibeli. Total buku yang akhirnya dibeli dan dibawa pulang ada 11 buku.

1. Menerbitkan Buku Itu Gampang!, Jonru, Tiga Serangkai
2. Surat Terbuka Untuk Bangsa Kristen, Sam Harris, Alvabet
3. The Journey, Osaragi, Tuttle Publishing (buku import)
4. Romaji Diary ang Sad Toys, Tokuboku Ishikawa, Tuttle publishing (buku import)
5. Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali, Koesalah Soebagyo Toer, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
6. Potongan Cerita di Kartu Pos, Agus Noor, Kompas (Penerbit Buku Kompas)
7. Bilangan Fu, Ayu Utami, KPG
8. Larung , Ayu Utami, KPG
9. Menyentuh Yang Niskala, Joe Simpson, KPG
10.Cerita Cerita Timur, Marguerite Yourcenar, KPG
11. Puisi Mblengin, Remy Sylado, KPG











IndoComtech & Games

Seusai masuk pameran buku yang kedua kalinya, saya tidak langsung pulang. Saya, teman saya dan pacarnya, lanjut ke pameran IndoComtech yang tempatnya persis di samping pameran buku. Masuk ke pameran komputer berbeda dengan saat tadi masuk ke pameran buku. Harus beli tiket dulu seharga Rp.5.000, maka kita bebas berkeliling di area IndoComtech.

Tidak sesemangat saat memasuki ke pameran buku, keinginan untuk membeli itu ini tidak sebesar saat masuk ke pameran buku, karena memang juga isi dompet sudah menipis, No Budget untuk beli Gadget.

Menemani teman dan pacarnya saja, yang kebetulan sang pacar temanku ini ingin membeli laptop. Area pameran IndoComtech ini lebih besar dari pada pameran buku. Bermacam brand gadget berdiri memenuhi area dengan design booth yang menarik, modern dan hitech.










Sempat tergiur dengan tawaran-tawaran yang sangat menarik, khususnya aksesoris untuk laptop. Saya jadi ingin mempercantik si mungil Aspire One. Tapi bisa tertahan keinginan itu dengan alasan satunya adalah kondisi sudah “koma”.

Akhirnya hanya berkeliling saja, melihat-lihat, pegang-pegang, coba-coba barang-barang canggih yang menjadi display.

Ternyata laptop kecil sedang naik daun di pasaran. Asus yang pertama kali mengeluarkan produknya dengan bentuk laptop yang kecil dan ringan, yang biasa disebut Netbook, lalu disusul Acer dengan Aspire One nya ini menjadi primadona bagi pecinta gadget. Tak kalah, Lenovo pun mengeluarkan jenis produk yang sama seperti Asus dan Acer, dengan spec nya yang tidak jauh berbeda. Ben-Q dan Zyrex pun juga tak ketinggalan mengeluarkan jenis yang sama.


Untung saja sudah ada si mungil Aspire One, maka saya pun tidak kalap melihat penawaran-penawaran yang beraneka ragam dan bersaing yang diberikan oleh para perusahaan komputer ini. Jadi, masuk ke pameran ini sangat aman dan kerkendali.

Tidak lama berkeliling di pameran IndoComtech, saya, teman dan pacarnya pun bergegas pulang, karena waktu sudah masuk ke pukul 21.50 WIB. Kami bertiga keluar dari pameran komputer tanpa membawa buah tangan apa pun. Hanya brosur dan beberapa kartu nama yang sengaja disimpan oleh temanku dan pacarnya ini untuk menghubungi salesnya untuk memesan laptop yang akan dibelinya.

Seperti biasa, Jakarta,kalau hari Jum’at, habis hujan, pasti macet. Padahal sudah masuk malam hari, tepatnya pukul 22.00 WIB, tol dalam kota dan jalan biasa masih dipadati oleh kendaraan bermotor. Jadi ya sudah tidak aneh lagi kalau sampai rumah hampir tengah malam. Tapi itu semua terbayarkan dengan buku-buku yang sudah saya beli, tidak menyesal walau harus bermacet ria dan kelelahan. Cuti kerja yang tidak sia-sia.....



Kamis, November 06, 2008

Kakurilingan (keliling) Bandung

Aahhh, akhirnya bisa juga menikmati malam di kost-an dengan santai. Bertemu dan bergumul mesra dengan buku-buku dan si kecil Aspire One. Dari minggu lalu sudah gatal jemari-jemari ini untuk mulai mengetik dan menulis lagi. Biasanya sih, di kantor bisa menyambi dan mencuri waktu sedikit untuk menulis, tapi sudah dari akhir bulan kemarin kerjaan sedang sering menjenguk. Ibu Bos yang akhir bulan ini mau dinas ke India, lalu Jr. Manager Ibu Bos juga harus dinas ke Malaysia yang mengharuskan untuk mensupport mereka menyiapkan semua keperluan mereka untuk perjalanan dinasnya. Belum lagi pekerjaan bulanan, terutama tiap awal bulan, pekerjaan rutinku yang mengupdate beberapa data untuk dipakai di rapat dan review internal. Ketambahan lagi dengan jadwal olahraga di sanggar fitness yang mengharuskan datang sesuai dengan jadwal yang telah diberikan oleh instruktur. Kalau sudah begitu sudah tak bisa apa-apa lagi, pulang kerja langsung menuju ke sanggar fitness, lalu pulang ke kost, sampai kost pun sudah pukul 22.00 WIB, rasanya tak sanggup kalau harus menarikan jari-jari ini diatas keyboard laptop. Alhasil ya sampai kost hanya bersih-bersih, sholat dan langsung tidur.

Tapi malam ini, rasanya nikmat sekali, bisa tiba di kost lebih awal dari jam biasanya. Bersantai di atas tempat tidur, dengarkan MP3 Olive album You, dan Album The Best of Syahrani. Enak tenan, sambil minum teh hangat dengan cuaca yang lumayan dingin dan sedikit gerimis.

Jadi ingat kenikmatan yang kurasakan akhir minggu kemarin. Aku dan empat teman kantor ku pergi ke Bandung, untuk menghadiri pemberkatan pernikahan teman kantor. Karena tak bisa hadir di pesta resepsinya minggu depan, maka kuputuskan untuk datang ke pemberkatannya di Bandung, pikirku sekalian pulang ke rumah saja.

Jum’at siang (14.00 WIB), 31 Oktober 2008, aku sudah meluncur ke site Cikarang ikut mobil ekspedisi. Nasib sebagai orang yang suka menebeng, jadi ya harus ikut jadwal sang empunya mobil yang akan berangkat dari Cikarang menuju Bandung pukul 16.00 WIB. Ya okelah, daripada ribet juga harus naik umum dari Jakarta, karena kalau begitu aku harus pulang dulu ke kost, mana lagi musih hujan. Kalau nebeng kan, setidak-tidaknya aman dari guyuran air hujan.

Aku dan Marlin start dari Pulogadung menuju Cikarang, untung saja Ibu Bos orangnya sangat pengertian, beliau pun memberikan kami ijin untuk meninggalkan kantor lebih awal. Sampai di Cikarang sudah sore, sudah hampir menjelang habisnya jam kerja.

“Ah, lumayan 30 menit lagi, masih bisa kerjakan beberapa pekerjaan dulu”, sambilku mengecek agenda untuk melihat apa saja yang bisa ku kerjakan dari list tugas yang sudah kubuat sebelum berangkat. Marlin pun menggunakan waktunya untuk mengerjakan sedikit pekerjaannya. Dia mulai sibuk dengan urusan sampelnya, aku mulai keliling ke lantai 1 – lantai 3 mengurusi beberapa urusan administrasi. Ika Fitri yang masih terlihat sibuk dengan menerima telepon di depan meja front office itu pun tak sempat ku tegur saat melewati lobby kantor. Myra yang masih sibuk mengurusi dokumen kelengkapan importnya, serta Vero yang masih memonitor beberapa pending PO (Purchase Order) nya. Sampai akhirnya pekerjaan kita pun dihentikan oleh bel yang berbunyi tepat pada pukul 16.00 WIB. Satu per satu sudah mulai merapikan pekerjaannya. Ika Fitri sudah menyampar kita kedalam ruangan yang sudah dengan beberapa banyak jinjingan tas berisi makanan untuk konsumsi kita selama perjalanan.

Pukul 16.15 WIB kita berlima pun meninggalkan parkiran Kalbe tercinta. Myra sang pengemudi dan GPS didampingi Vero di depan. Aku, Marlin, lalu Ika Fitri duduk di tengah di bangku belakang, dengan suasana di dalam mobil yang cukup berisik dan ramai.

“Nanti mampir ke KFC dulu ya” celetuk Marlin, yang memang sudah dari hari sebelumnya kita pergi, kepinginan makan KFC.
“Yah, capek deh, Lin. Mau ke Bandung kok ngidamnya malah KFC” ledek Vero, dan Myra pun dengan baiknya membelokkan mobilnya memasuki tempat peristirahatan di KM menjelang masuk tol Sadang.

Keinginan Marlin pun terwujud sudah dengan sempurna. Satu potong paha atas crispy dan ketang goreng dia nikmati selama perjalanan menuju Bandung. Benar firasatku, masih di tol Cipularang pun sudah mulai gerimis, sampai keluar tol Pasteur hujan makin deras. Antrian tol lumayan padat, maklum menjelang weekend, Bandung ramai dengan plat B.

Sekitar pukul 19.00 WIB kita berlima tiba di gereja GKI, di jalan Maulana, Dago. Niatnya mau menemani Myra dan Vero latihan, karena mereka berdua ditugaskan untuk menyanyi (Vero) dan bermain Saxophone (Myra) mengiringi pengantin. Tapi ternyata tim musiknya tidak datang ke gereja. Hanya tampak ruang yang sudah di dekorasi dengan cantik untuk upacara pemberkatan esok. Myra dan Vero sibuk menghubungi tim musiknya untuk berjanjian latihan. Aku, Malin dan Ika Fitri hanya duduk menikmati para penyanyi koer yang sedang latihan bernyanyi. Kurang lebih 20 menit di gereja, diputuskan latihannya besok pagi sebelum pemberkatannya dimulai.

Rencana berubah, akhirnya kita pun menuju Aru untuk betemu sahabat Myra untuk me-copy file lagu yang akan digunakan sebagai pengiring pengantin. Sambil menunggu Teh Dede (vocalis Mocca), Vero masuk ke Circle K untuk beli sikat gigi. Aku dan yang lain mulai masuk ke café untuk menunggu dan ber-inet ria. Tak lama Teh Dede pun datang, dan mulailah urusan-urusan kami diselesaikan, dan berakhir dengan janjian untuk dinner dulu sebelum pulang, yang diputuskan kita akan berdinner di Hyper Square.

Sampai di Hyper Square sudah pukul 20.30 WIB, kita berenam berkeliling mencari makanan yang pas dengan selera, hanya Marlin saja yang tidak berputar mengelilingi foodcourt saat itu, mungkin sudah full juga dia tadi yang sudah terwujud makan KFC.

Kalau sudah di Bandung, pastinya aku sudah kalap, berwisata kuliner lah yang pasti. Akhirnya dapatlah menu Mie Kocok, dan Lumpia Basah isi telur, ditambah air mineral. Makan bersama, ngobrol ngalor ngidul, tak terasa sampai pukul 22.00 WIB, kita pun bergegas pulang. Pisah dengan Teh Dede di parkiran Hyper Square, Myra mengantar aku, Marlin dan Ika Fitri sampai di pusat perbelanjaan yang namanya aku lupa, dan kebetulan aku pun belum pernah datang ke tempat tersebut. Disitu kami bertiga pindah naik taksi menuju rumah ku yang jarakya lumayan lah, perjalanan sekitar 30 menitan.

Sampai di rumah sudah jam 22.30 WIB, di sambut dengan Ua Etty. Wah, rasanya rindu sekali melihat Ua ku yang satu ini, padahal baru lebaran lalu pulang ke rumah Bandung. Kangen ngobrol, gossip, dan ngudud barengnya itu loh, makanya aku paling ga bisa pulang ke Bandung hanya 2-3 hari, minimal 4 hari di Bandung.

Mulailah kami bersih-bersih dan bersiap tidur, obrolan kecil sebagai pembuka menjelang tidur. Dengan serunya Aku dan Ika Fitri mendengarkan cerita Marlin tentang adiknya yang baru saja berkelahi di suatu tempat olah raga. Memang dari selesai bersih-bersih, dia sudah berngobrol ria di handphonenya dengan adiknya, yang kebetulan adik laki-lakinya bersekolah di Bandung. Selasai bercerita ria, kita pun satu-satu mulai pamit untuk tidur. Aku tidur di kamar kakak sepupuku di sebelah kamar Marlin dan Ika Fitri tidur.

Paginya, pukul 5.30 WIB aku sudah bangun. Terus terang sih, mungkin kalau tidak ada jadwal acara pemberkatan teman kantor ku di pukul 09.00 WIB, pastinya aku belum bangun dari tidur.

Pukul 07.30 kita bertiga sudah siap berangkat, sambil menunggu taksi yang sudah ku pesan via telepon, kita pun memeriksa kembali semua barang bawaan, karena di dalam jadwal, Sabtu sorenya mau langsung pulang lagi ke Cikarang, untuk bisa mengejar di hari minggunya hunting kost-kostan untuk Vero dan Myra. Tapi tidak rugi juga walaupun hanya semalam di rumah Bandung. Sudah terbayar dengan sarapan yang nikmat, masakan Ua tercinta. Nasi panas, cabe Gendot, pepes ayam dan tahu Bandung, uuuhhhhh, very yummie.

Pukul 08.10 WIB kita bertiga sudah sampai di Gereja, masih tampak sepi, kita pun langsung menghubungi Myra yang ternyata sudah di lantai atas sedang latihan. Ika Fitri menyusul keatas untuk mengambil kunci mobil untuk memasukkan barang bawaan kami.
Hanya ada tim musik dan beberapa keluarga yang sudah datang. Tampak beberapa penyanyi kidung angklung sedang menyiapkan peralatannya yang akan mengiringi acara pemberkatan.

Acara berlangsung mundur 30 menit dari jadwal yang sudah ditetapkan. Kaget saat melihat Vivi dan pendampingnya memasuki ruangan dan altar pemberkatan. Luar biasa cantiknya dengan gaun pernikahannya. Rambutnya yang di highlight membuat penampilannya sempurna. Konsep putihnya, menampilkan suasana yang sejuk, bersih dan menenangkan. Acara pun dimulai, aku dan Ika Fitri duduk di bangku belakang mengikuti satu demi satu acara pemberkataan.

“Wah, sepertinya aku muslim sendiri di gereja ini” bisikku dalam hati sambil melihat sekelilingku yang sedang serius mengikuti tahapan-tahapan acara pemberkatan. Ini memang pengalaman pertamaku mengikuti prosesi pemberkatan pernikahan langsung di gereja. Entah ini dibilang berbuat melanggar ajaran muslim atau bukan, tapi niatku hanya ingin datang ke pemberkatan temanku. Bisa dibilang, Aku tidak merasa kaku lagi, karena ini bukan pertama kali ke gereja. Sebelumnya aku pun sudah pernah datang di acara doa bersama saat aku duduk di bangku perkuliahan di Universitas Kristen Indonesia. Aku pun sudah tidak canggung lagi dengan cara berdoa di gereja, karena dari kecil aku sudah bisa berdoa cara agama Kristen Katholik. Ayah ku adalah mualaf, sebelumnya dia Kristen Katholik. Sehingga dari kecil aku dimasukkan ke dua sekolah. Pagi aku sekolah di yayasan Kristen, lalu siangnya aku belajar di TPA Islam.

Dasarnya sama saja prosesi pernikahan agama Kristen dengan agama Islam. Sama-sama ada doa, wejangan, ikrar atau ijab qobul, dan sungkeman. Bedanya di prosesi pemberkatan ini ada iringan dengan nyanyian dan pujian. Di tengah-tengah pemberkatan diisi dengan ceramah dari pendeta.

Pdt. Albertus Patty memberikan ceramah bagi jemaat yang datang. Sengaja ku catat beberapa isi ceramah yang beliau sampaikan. Pdt. Albertus mengatakan, bahwa pondasi pernikahan ada 3, yaitu :
1. Iman, relasi langsung kepada Tuhan. Dalam pernikahan Iman merupakan hal penting, dengan Iman kita akan lebih dekat dengan Tuhan. Jadi, janganlah pernah melepaskan dan jauh dari Tuhan.


2. Cinta, relasi pada pasangannya. Pendeta berkata, tidak ada pasangan yang sempurna, tapi dengan cintalah pasangan tersebut disempurnakan, karena dengan cintalah mereka saling melengkapi.

3. Komitmen, hal ini membedakan manusia berbeda dengan makhluk lain. Manusia lebih sempurna dari makhluk lain. Sehingga dengan begitu hubungan antara pasangan terjalin dengan baik dan bertanggung jawab.

Acara demi acara berjalan dengan baik, diakhiri dengan nyanyian jemaat, pengutusan, berkat, serta foto bersama. Kami bertiga meninggalkan ruangan setelah mengantri mendapat kuat tart dan cokelat. Perundingan kecil terjadi diparkiran mobil.

“Laper, nih. Kita mau makan di mana?”

Diskusi kecil pun terjadi singkat, dan akhirnya diputuskan kita akan lunch di Imam Bonjol (belakang RS. Boromeus), Dago. Hidangan Lomie dan Batagor sudah siap di depan meja makan. Lomie, sejenis mie ayam, bedanya dikuahnya yang kental dan sayurannya bukan sawi, melainkan kangkung, dengan 4 butir bakso didalamnya, sudah ku santap denga lahap, persis dengan yang dipesan oleh Vero, Marlin dan adiknya Marlin yang datang juga ke acara prosesi pemberkatan. Myra dan Ika Fitri yang asik menyantap pesanan Batagornya, dengan sesekali menicip-icip Lomie, pelan tapi pasti menghabiskan pesanan makanannya itu.

Tidak berhenti sampai situ saja, walaupun perut sudah penuh, nafsu berwisata kuliner kita berlima masih cukup besar. Sehabis makan, kita menuju Tobucil, rumah baca yang biasa ku kunjungi apabila sedang berada di Bandung. Tujuan utamanya pasti mencari koleksi kartu nama ternaru, lalu buku dan berorigami. Karena hanya sebentar di Tobucil, untuk membeli beberapa buku dan numpang ke toilet, dilanjutkan pulang, maka berorigami kiat lewatkan bersama. Lagi-lagi tidak langsung pulang, tujuan selanjutnya adalah ke Heritage (factory outlet) yang berkonsep bangunan tua seperti bangunan di Kota Tua dan gedung sebelahnya berkonsep modern minimalis. Tidak berniat belanja, sih, hanya ingin lihat-lihat saja. Ya walaupun sempat kalap juga saat aku melihat koleksi syal dan swearternya yang bagus dan cantik-cantik. Tapi itu masih bisa ditahan dan dibendung, sampai akhirnya kita memutuskan mencari tempat yang enak untuk ngobrol bareng adan makan enak.

















Heritage Factory Outlet
(Dari samping kiri: Myra, Ika Fitri, Vero, Aku)
Marlin ke mana ya? Marlin yang memfoto kita berempat, he he he.


















Nah, ini dia Neng Marlin.


Masih belum terputuskan mau di mana kita bersinggah. Kita keluar dari gedung, menuju parkiran. Lagi-lagi ada yang berkeinginan, sekarang inginnya adalah Es Duren. Pucuk di cinta, Es Duren pun tiba. Tepat di depan pintu keluar parkiran, mangkallah gerobak Es Duren.

Mobil Myra meninggalkan area parkir, kita masih belum tahu mau menuju kemana lagi. Myra masih sibuk berdiskusi dengan pacarnya via telepon menanyakan tempat yang enak untuk berkongkow, dengan konsep lesehan yang bisa untuk goleran (tiduran – Bahasa Sunda), dengan sajian makanan berkonsep barbeque-an.

Oke, terputuskanlah di Atmosphere, di Jl. Lengkong, tujuan selanjutnya. Tapi sebelum menuju ke sana, kita mampir ke suatu tempat, tepatnya aku lupa namanya, karena baru pertama kali juga datang ke sana. Mengantar Vero untuk mewujudkan kemauannya yaitu Mie Rica. Makanan ini adalah makanan sejenis Mie Yamin yang ditambahkan daging masak Rica, dan yang khasnya adalah menggunakan daging babi. Jadi, saya tidak bisa mencicipi kuliner yang satu itu. Infonya sih rasanya enak, pedas Ricanya oke banget.

Tidak ingat persis pukul berapa saat itu, kira-kira habis Dzuhur kita sampai di Atmosphere. Hujan ringan sudah turun, menambah sejuk suasana. Saat itu Atmosphere cukup ramai, sedang acara rupanya. Kita pun langsung beranjak ke lantai 2, tempat yang kita cari-cari sejak tadi. Konsep seperti rumah panggung, materi bangunan hampir full dengan kayu. Dibuat skat-skat kecil untuk ruang lesehan yang terbuka antar ruang satu dengan ruang lainnya. Pemandangan taman yang indah dan pondok-pondok kecil, di lantai 1 menjadi objek kita berlima yang ada di lantai 2.

Benar-benar suasana yang nikmat sekali, berkumpul di bale lesehan dengan disarapkan kasur tipis dan banyak bantal. Kembali ke tujuan awal kita adalah berwisata kuliner, maka kesempatan untu memilih makanan-makanan yang disajikan Atmosphere pun tidak terlewatkan. Sudah dengan menunya masing-masing, mulai dari Sirloin Steak, Beef Lada Hitam sampai ke Iga Bakar sudah terpesan.

Makan-makan, ngobrol ngalur ngidul, dan ber-inet ria mengantar kita sampai ke pukul 17.00 WIB.

“Pulang-pulang, bisi kasorean euy (pulang-pulang, takut kesorean)”

Pukul 17.30 WIB, sampailah ke rumah Myra. Ambil barang dan Saxophonenya yang akan dipakai di acara resepsi pernikahan Vivi, tanggal 9 November 2008. Tidak lama, kurang lebih 30 menit kemudian pun kita berlima meninggalkan rumah Myra, setelah menumpang ganti pakaian dan menumpang ke kamar mandi.

Perjalanan pulang kita diiringi dengan hujan ringan, kondisi jalan yang menuju Bandung terlihat padat dan ramai, lain hal kita yang lawan arah menuju Jakarta sangat lengang. Suasana di dalam mobil tidak terlalu ramai, tidak seperti saat pergi menuju Bandung. Dimaklumi, semua sudah kenyang dan lelah pastinya, seharian jalan keliling Bandung.
Sesuai dengan perjanjian sebelumnya tidak boleh ada yang tidur di mobil, alhasil kita pun tetap terjaga walaupun dengan kondisi yang mulai lowbet, dengan celetukan guyonan-guyonan kecil, nge-gossip, sampai sibuk ber-smsan, yang penting tetap bisa melek sampai di Cikarang.

Perjuanganku pun berhasil untuk bisa melek, sesampai di Cikarang, aku langsung pindah kendaraan. Cari taksi ga ada yang lewat, akhirnya ku putuskan naik angkutan umum biasa. Hanya 45 menit perjalanan menuju Bekasi, aku pun tiba di kost. Langsung bongkar muatan, eh salah, maksudnya barang bawaan, lalu mandi, sholat, dan diakhiri dengan menelengtangkan tubuh diatas kasur kesayangan. Tidak dengan waktu lama, aku pun sudah tak ingat apa-apa lagi, zzzzz...zzzzzz…zzz.


Minggu, Oktober 19, 2008

Martapura (part 1)

Ini adalah pulau kedua setelah Pulau Jawa yang aku pijak. Tidak lama, kurang lebih 7 hari aku berada di Pulau Kalimantan, tepatnya di Martapura.
Diawali dengan telepon dari Bunda yang mengabarkan kalau Bi Ai (adik kandung Bunda, biasa dipanggil Bibi kalau untuk keluarga kami di Bandung) di hari Lebaran (tahun 2007) nanti tidak pulang ke Bandung. Sebagai gantinya, Bi Ai menawarkan agar aku dan bunda berlebaran di Martapura.


“De, kamu mau kalau kita Lebaran di Martapura?”

“Wah, asik tuh. Ade sih mau aja, tapi biayanya khan mahal, Bun.”

“Iya gapapa, Bi Ai minta kita Lebaran disana, dan mau dibayarin uang tiket pesawatnya”

“Mau…mau, Bun.”

Tak pikir lama lagi, aku pun langsung menelpon travel agent yang biasa ku pakai untuk pesan tiket untuk kantor. Bicara dengan Mba Rina dari Joe Travel, pesan tiket Jakarta – Banjarmasin, pulang pergi. Lumayan was-was, takut sudah tak kebagian tiket. Tapi memang sudah rejekinya, aku mendapat tiket satu hari sebelum Lebaran (11 Oktober 2007). Bagusnya lagi aku mendapat tiket Garuda Indonesia dengan harga bagus, seharga Rp.400.000,- dan tiket pulangnya hanya mendapat tiket Lion Air dengan harga yang cukup bagus juga, seharga Rp.399.000,-.

Ini adalah pengalaman pertamaku dan bunda juga yang akan naik pesawat terbang menuju ke Kalimantan. Selama ini hanya bus, kereta dan perahu saja yang sudah pernah ku naiki untuk melakukan suatu perjalanan. Lagi pula akan sangat boros juga kalau aku harus naik pesawat terbang, karena perjalanan paling jauh selama ini hanya ke Solo saja, dan itupun terakhir kesana saat aku kelas 2 SD. Selebihnya ya cuma bulak-balik Jakarta – Bandung saja.

Saat hari keberangkatan, aku dan bunda sudah bangun lebih pagi, karena jadwal penerbangan yang aku punya adalah penerbangan pertama jam 07.20 WIB. Barang bawaan sudah ku packing satu hari sebelum kita berangkat. Jam 04.30 WIB aku dan bunda sudah meluncur ke pool bus Damri di samping gedung Giant, Mega Mall Bekasi, dengan diantar oleh dua tukang ojek langganan. Bus Damri pun meluncur meninggalkan pool menuju Bandara pada jam 05.00 WIB. Aku sudah tak ingat apa-apa, tertidur pulas dalam bus, tersadar saat masuk gerbang tol bandara. Tak lama, aku dan bunda turun di terminal penerbangan Garuda Indonesia, tepat jam 06.15 WIB aku sudah mulai check-in dan menuju tempat boarding pass.

Baru saat itu aku benar-benar masuk kedalam bandara. Kalaupun aku sudah pernah ke bandara, itu hanya untuk mengantar atau menjemput keluarga yang datang ke Jakarta, tidak pernah masuk kedalam. Terlihat wajah bunda yang senang, sama halnya dengan aku. Seumur hidup baru inilah aku naik pesawat. Tapi dibalik wajah senangnya bunda, ada hal yang ia cemaskan.

“De, semoga nanti lancar ya penerbangannya. Semoga ga ada apa-apa ya. Takut kalau nanti
pesawatnya jatuh, Bunda khan ga bisa berenang”

“Iya Bunda, Bismillah aja ya." Jawabku disambung dengan senyuman yang menutupi kecemasan yang kurasakan sama dengan yang bunda rasakan.


Jadwal penerbangan pun sudah makin dekat. Aku dan Bunda memasuki pesawat. Kami duduk bersebelahan di nomor kursi D4 dan D5. Aku duduk persis disamping jendela, dan bunda persis disebelahku. Dia menolak saat kutawarkan duduk didekat jendela, karena ia takut ketinggian. Sabuk pengamanpun sudah terpasang, aku dan bunda sudah duduk manis dengan diawali doa sebelum pesawat yang kita tumpangi lepas landas. Wajah bunda sedikit panik, tapi tak lama pun membaik dan mulai menikmati perjalanan. Karena masih syaum, ya kita pun tidak makan dan minum. Hanya membaca beberapa bacaan yang sudah disediakan oleh para pramugari-pramugari yang cantik. Sesekali aku memejamkan mata yang terasa kantuk, tapi sayangnya tidak bisa ditidurkan.

Kurang lebih satu jam perjalanan, tapi buatku terasa lama. Mungkin karena hanya melihat pemandangan langit, awan dan laut, makanya lama. Dengan sedikit rasa takut aku mengucap syukur kepada Tuhan untuk nikmat yang satu ini. Penerbangan cukup lancar, walaupun sesekali pesawat mengalami guncangan kecil, yang bahasa londonya menyebut Turbulence. Selama perjalanan tidak hentinya mengucap kalimat istigfar, apalagi saat pesawat teguncang. Sesekali melihat bunda yang ada disebelahku, dia hanya memejamkan matanya dan bibirnya bergerak kecil, seperti sedang mengucapkan suatu kalimat, yang ku tahu itu adalah doa. Kurasakan kecemasannya, karena aku pun merasakan hal yang sama. Ku genggam tangannya untuk menenangkannya yang sekaligus menenangkanku juga.

***

Tepat jam 8.30 WIB, Bi Ai sudah menunggu di depan gerbang kedatangan bandara Hasanudin, Banjarmasin. Perjalanan yang sudah cukup mencemaskan tadi pun langsung hilang, setelah akhirnya aku menginjakkan kaki di pulau Kalimantan, Banjarmasin, dan melihat senyum hangat Bi Ai yang telah menjemput kita berdua. Kami pun meninggalkan bandara menuju rumah Bi Ai di Martapura, ditempuh kurang lebih satu jam perjalanan untuk sampai di rumahnya.

Kali ini aku lebih menikmati perjalanan menuju rumah di Martapura. Menikmati udaranya yang bisa dibilang masih cukup segar dibandingkan di Jakarta, yang sudah penuh dengan asap kendaraan bermotor. Cuacanya memang terasa panas, tapi udaranya segar tidak terasa gersang. Unit perumahan disana pun belum terlalu padat, masih banyak lahan-lahan kosong yang belum terisi dan dibangun perumahan atau fasilitas umum. Situasi jalanannya pun lancar, tidak ada kemacetan. Benar-benar mendamaikan pikiran, tidak membuat stress.

Malam harinya, setelah berbuka puasa, takbir sudah berkumandang, aku dan Bi Ai ke luar rumah menuju rumah panti untuk membayar zakat fitrah. Dilanjutkan menuju rumah Emak Tua, yaitu ibu tua yang ditemui Bi Ai di jalan (tahun 2006), lalu sejak itu Bi Ai rutin mengunjungi Emak Tua untuk mengirim makanan atau sekedar menengoknya. Lagi-lagi ada hal yang membuatku terkesan, keramahan dan saling bantu antar sesamanya masih sangat tinggi. Bagaimana tidak, saat aku dan Bi Ai mencari rumah kontrakan Emak Tua yang baru, warga disana pun langsung membantu mencarikan dengan mengantar kami ke rumah Emak Tua. Diantar sampai ke rumah dan tanpa minta imbalan apapun. Kalau di Jakarta, pastinya sudah jarang sekali hal ini ditemukan. Warga Jakarta yang kini kehidupannya cenderung individual, membuat sikap saling membantunya pun berkurang. Kalaupun ada, mungkin hanya basa-basi saja, lebih besar ke rasa khawatir, takut dan siaga, karena Jakarta sudah tidak cukup aman. Jadi, antara orang baik dan orang jahat sudah susah dibedakan.

Miris sekali melihat kondisi Emak Tua. Umurnya yang sudah 70 tahun masih harus bekerja, berjualan sapu ijuk untuk membiayai hidupnya sendiri yang tidak ada sanak saudara. Emak Tua yang tinggal di rumah kontrakan, dengan kondisi rumahnya yang terbuat dari papan saja dan cukup kecil. Sempit, tidak layak untuk ditinggali, apalagi Emak Tua ini di rumah kontrakannya terisi sampai 3 orang lainnya, dengan tujuan agar membayar uang kontraknya bisa patungan sehingga lebih terasa murah.

Esok paginya, Idul Fitri pun tiba. Aku dan Bi Ai menuju mesjid untuk melaksanakan Sholat Ied, kupanjatkan doa, puji dan syukur kepada-Nya atas nikmat yang sudah diberikan kepadaku dan Bunda. Setelah sholat pun aku dan Bi Ai kembali pulang. Sungkem dan mencium pipi Bunda, meminta maaf atas kesalahan yang sudah ku perbuat kepadanya. Bunda yang setia menunggu di rumah, yang kebetulan sedang berhalangan sehingga tidak mengikuti sholat Ied, sudah menyiapkan santap makanan khas Idul Fitri, ketupat dan opor ayam.

Hidup sehat, itu yang tepat diucapkan selama tinggal di Martapura. Tak ada polusi dan kemacetan. Terhindar dari sesak napas dan stress. Aku dapat melihat sinar matahari dibalik awan abu-abu saat cuaca mulai mendung dan hujan di siang hari. Melihat banyak taburan bintang di malam hari. Suara jangkrik dan katak yang saling bersautan, menyanyikan lagu alam. Kabut putih dan embun dingin yang menyapaku di setiap paginya. Benar-benar kota yang nyaman.

Buatku, Martapura ini lebih tepat disebut kota santri, diluar dari hasil alamnya yang luar biasa, yaitu batu alam seperti intan yang terkenal dari Martapura, kehidupan masyarakat dan kultur disana dirasakan sangat islamiah. Ramah, sopan, dan taat beribadah. Aku pun sungkan sekali apabila keluar dari rumah memakai celana pendek. Ya, walaupun memang tidak dilarang untuk memakainya.

Sudah beberapa hari aku melewati waktuku di Martapura, aku merasa betah. Tenang dan nyaman, membuat aku jatuh cinta terhadap kota ini. Walaupun hanya tinggal dirumah saja, itu tidak membuatku bosan. Memang jauh berbeda dengan kehidupan di Jakarta, yang penuh aktivitas dan kegiatan. Tidak berlaku di Martapura, meskipun kegiatan tetap berjalan, Martapura tetap memberikan kenyamanan dan tidak sumpek. Jarang ditemui tempat hiburan atau tempat perbelanjaan. Yang banyak dijumpai malah pasar dan warung-warung tradisional yang kalau di Jakarta sudah sangat jarang kita jumpai. Mini market merajalela menyingkirkan warung-warung tradisional rumahan, sehingga menyebabkan masyarakat Jakarta menjadi masyarakat yang konsumtif.
to be continue...

Kamis, September 25, 2008

Di Balik Penampilan Rapinya…

Sudah sangat merasakan lelah, setelah sibuk bekerja seharian di kantor dengan masih mengerjakan tugas merapikan ruangan baru di salah satu kantor cabang, di Jakarta. Pergi meninggalkan kantor tepat pukul 17.00 WIB. Bersama beberapa teman, saya meninggalkan area kawasan kantor menuju shuttle busway, berniat untuk meluncur ke tengah kota Jakarta, menuju tempat makan di pusat perbelanjaan untuk bertemu dengan sahabat yang sudah dua hari sebelumnya membuat janji untuk bertemu.

Membeli karcis, masuk shuttle dan mengantri untuk menunggu giliran agar bisa menaiki busway, walaupun harus cukup sabar menunggu. Kurang lebih 25 menit saya berdiri di shuttle TU GAS untuk mendapat giliran naik busway, dan itupun sudah tidak kebagian tempat duduk, sehingga saya pun berdiri tepat dekat di belakang pintu masuk.

Sedikit bersandar pada badan bus untuk mengurangi beban tas yang cukup berat dengan menahan rasa kantuk yang luar biasa. Sesekali saya istirahatkan mata dengan menahan tubuh ini berpegangan pada tiang dalam busway,

Benar saya harus berdiri sampai tujuan akhir di Dukuh Atas. Lepas dari kepadatan selama di dalam busway, hal tersebut tidak menghindarkan saya untuk bertemu dengan kepadatan yang lebih padat lagi di dalam kotak shuttle busway Dukuh Atas 2. Sudah banyak orang di sana yang transit dan mengantri untuk naik busway selanjutnya dengan tujuan mereka masing-masing. Saya pun tidak mau kalah ikut mengantri untuk bisa keluar dari ruang itu, ruang tidak cukup besar, padat dengan orang-orang, mirip dengan akuarium kecil yang dipenuhi dengan ikan Cupang. Yang tak kalah dari padatnya adalah harumnya. Bau harum yang bermacam-macam berkumpul pada ruang sempit itu, sehingga bau harumnya pun tak karuan dan pastinya tidak enak untuk dinikmati.

Lega rasanya bisa keluar dari ruang sempit itu, sama rasanya seperti orang yang akhirnya bisa kentut setelah menahan beberapa detik di tempat keramaian. Saya dapat menghirup udara yang lebih segar dengan aroma tanah kering terseiram hujan yang sesekali menyentil hidung. Tampias air hujan setengah membasahi tubuh, saya tetap berjalan menuju shuttle selanjutnya untuk bisa sampai ke tempat yang sudah saya dan sahabat janjikan untuk bisa bertemu.

Karena transit, maka saya tak perlu merogoh katung dompet lagi untuk membeli karcis. Saya hanya tinggal masuk ke dalam antrian penumpang dan menunggu kembali giliran mendapatkan busway menuju Bendungan Hilir.
“Antri lagi, lelah sekali, tak ada habisnya. Sedikit lagi sampai!” keluh dan menyemangati kembali diri saya menuju tempat pertemuan.

Ditemani dengan alunan suara Celine Dion yang mendendangkan lagu I’m Alive, dari MP3 handphone, saya masuk ke dalam antrian penumpang. Mencoba menikmati lagu untuk menghilangkan rasa lelah dan jenuh menunggu di dalam antrian, tiba-tiba mata saya melihat hal yang tidak enak. Volume suara pun saya kecilkan sehingga saya juga bisa mendengarkan situasi yang sedang terjadi. Terlambat saya mengecilkan, saya tidak tahu pasti apa yang sedang terjadi. Dari mata yang sudah melihat situasi itu menyimpulkan bahwa sudah terjadi hal-hal yang tidak mengenakkan, tetapi saya tidak tahu apa itu. Antrian depan cukup risuh, saya mencoba cari tahu melalui telinga saya untuk mendengarkan pembicaraan orang sekitar, tapi masih belum mendapatkan jawaban. Sampai akhirnya busway tiba, berhenti di depan pintu shuttle, antrian depan tertahan karena terjadi sesuatu hal. Mata saya hanya melihat orang-orang antri yang mayoritas menggunakan baju kerja, ada perempuan ada pria, orang dewasa dan paruh baya.

Dialog seru terjadi antara bapak tua berbadan sedang, tidak terlalu tinggi, yang memakai kemeja garis-garis merah biru dan celana bahan biru, membawa tas yang disangkutkan di bahunya, dengan seorang laki-laki paruh baya, perawakannya kecil, putih dan kurus yang menggunakan kemeja putih bersih dengan celana berwarna krem, di tengah-tengah kerumunan orang-orang yang sedang mengantri.

“Aduh, apa sih.”
“Ada apa?”
“Jangan senggol-senggol begitu”
“Tidak”
“Anda ini kenapa sih!”
“Saya tidak melakukan apa-apa””Kurang ajar! Anda ambil handphone saya.”
“Tidak. Ini punya saya”
“Haah.. Anda mengambil!”
“Tidak”
“Kurang ajar!”
Sekilas perdebatan itu terdengar pada antrian depan antara bapak tua dan laki-laki para baya itu,

Situasi yang padat berubah menjadi situasi risuh, dan makin panik saat ingin memasuki busway yang akhirnya ada satu orang dari penumpang berteriak “copeeet…”
“Copet, Pak”
“Copet itu, tangkap!”
“Tarik.. Bawa keluar”
“Minggir dulu.”
“Awas, bahaya, minggir dulu, jangan ikut-ikutan”
Beberapa penumpang teriak panik, dan mulai menyebar keluar dari kerumunan untuk menghindari dari situasi risuh.
Saya berdiri dengan memeluk tas kerja dan tetap berdiri di tempat antrian bersama orang-orang yang ada di belakang saya yang tidak bisa bergerak karena padat dalam antrian.

Dari orang-orang yang menyingkir dari antrian, petugas keamanan busway masuk kedalam busway dan menyeret seorang laki-laki paruh baya yang tadi berdebat dengan bapak tua berkemeja garis-garis merah biru. Menarik kerah kemeja laki-laki parah baya itu keluar dari kerumunan dan diamankan disudut shuttle yang dengan sudah menerima perlakuan yang cukup tidak manusiawi. Bogem mentah mendarat di pipi dan mata kiri laki-laki parah baya itu, dengan bentakan tuduhan yang tak henti-hentinya.

“Ouw, jangan”
“Jangan dipukul!”
Teriak seorang wanita yang ada dibelakang, yang tidak sempat saya tengok karena sudah terkesima melihat laki-laki paruh baya itu menahan sakit dengan memegang pipi dan matanya sambil membela diri tak berdaya.

“Kalau tidak dibeginikan, dia tidak kapok. Ibu bukan korban, jadi pasti kasihan. Dia bisa saja berbuat lagi, makanya harus dibuat kapok” oceh petugas keamanan kepada wanita yang berteriak tadi.

Suasana masih ricuh dan panik, petugas keamanan masih menahan busway untuk tidak melaju. Petugas mencari korban untuk dikeluarkan juga untuk menyelesaikan masalah. Bapak tua dengan kemeja bergaris merah biru itu mengikuti jalan para petugas keamanan, mengadu sebagai korban. Penumpang lain yang menjadi saksi pun berpindah tempat ke dalam rumunan petugas keamanan yang telah mengkarantina si pelaku dan korban. Makin tak berdaya saja laki-laki paruh baya itu setelah ditambah tendangan mantap yang diberikan oleh bapak tua karena emosi.

“Dasar, kurang ajar”
“Penampilannya saja rapi, tapi penjahat”
“Jangan pura-pura mengeluh”
Ungkap bapak tua yang mengeluarkan emosinya.

Miris saat melihat keadaan laki-laki paruh baya itu, mencoba membela diri dan merintih menahan sakitnya. Lagi-lagi saya hanya bisa diam dan mengerenyutkan dahi , serta serasa merasakan sakit pria paruh baya itu. Kasihan, tak tega, khawatir serta kesal, hanya itu yan terasa sambil makin erat saya memeluk tas kerja dan mengikuti langkah antrian penumpang lain masuk ke dalam busway, setelah beberapa petugas keamanan lainnya berhasil menenangkan situasi.

Di dalam busway saya melaju meninggalkan situasi yang tidak mengenakkan dengan masih membawa perasaan tidak enak juga.

Minggu, Agustus 24, 2008

Jelang Ramadhan

Tidak terasa, sudah memasuki bulan suci Ramadhan lagi. Waktu terasa singkat dan cepat, sudah banyak bulan yang kulewati setelah Idul Fitri tahun lalu dengan segala pikiran dan perbuatan yang sengaja dan tidak sengaja bergelimang dengan kesalahan dan dosa.

Untuk semua teman, kawan, lawan, sahabat dan kerabat, saya mohon maaf atas semua kesalahan yang sudah pernah terjadi dengan sengaja maupun tidak sengaja di bulan-bulan lalu.

Mohon Maaf Lahir dan Batin.

Wabah Raja Kecil

1. Pengusaha menggunakan pengaruh pejabat pusat untuk “membujuk” kepala daerah/pejabat daerah mengintervensi proses pengadaan dalam rangka memenangkan pengudaha/rekanan tertentu dan meninggikan harga atau nilai kontrak dengan pengusaha/rekanan dimaksud memberikan uang kepada pejabat pusat maupun daerah.
2. Pengusaha mempengaruhi kepala daerah/pejabat daerah untuk mengintervensi proses pengadaan agar rekanan tertentu dimenangkan dalam tender atau ditunjuk langsung dan harga barang/jasa dinaikkan (mark up), kemudian selisihnya dibagi-bagikan.
3. Panitia pengadaan membuat spesifikasi barang yang mengarahkan ke merek atau produk tertentu dalam rangka memenangkan rekanan tertentu dan melakukan mark up harga atau nilai kontrak.
4. Kepala daerah/pejabat daerah memerintahkan bawah-annya untuk mencairkan dan menggunakan dana/anggaran yang tidak sesuai dengan peruntukkannya kemudian mempertanggungjawabkan pengeluaran-pengeluaran dimaksud dengan menggunakan bukti-bukti yang tidak benar atau fiktif.
5. Kepala daerah/pejabat daerah memerintahkan bawahannya menggunakan dana/uang daerah untuk kepentingan pribadi koleganya, atau untuk kepentingan pribadi kepala daerah/pejabat daerah yang bersangkutan atau kelompok tertentu, kemudian mempertanggungjawabkan pengeluaran-pengeluaran dimaksud dengan menggunakan bukti-bukti fiktif.
6. Kepala daerah menerbitkan peraturan dearah sebagai dasar pemberian upah pungut atau honor dengan menggunakan dasar peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang tidak berlaku lain.
7. Pengusaha, pejabat eksekutif, dan pejabat legislatif daerah bersepakat melakukan tikar guling (ruislag) atas aset pemda dan melakukan mark-down atas aset pemda serta mark-up atas aset pengganti dari pengusaha/rekanan.
8. Para kepala daerah meminta uang jasa (dibayar di muka) kepada pemenang tender sebelum melaksanakan proyek.
9. Kepala daerah menerima sejumlah uang dari rekanan dengan menjanjikan akan diberikan proyek pengadaan.
10. Kepala daerah membuka rekening atas nama kas daerah dengan spesimen pribadi (bukan pejabat dan bendahara yang ditunjuk), dimaksudkan untuk mempermudah pencairan dana tanpa melalui prosedur.
11. Kepala daerah meminta atau menerima jasa giro/tabungan dana pemerintah yang ditempatkan di bank
12. Kepala daerah memberikan izin pengelolaan sumber daya alam kepada perusahaan yang tidak memiliki kemampuan teknis dan finansial untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya.
13. Kepala daerah menerima uang/barang yang berhubung dengan proses perizinan yang dikeluarkannya.
14. Kepala daerah/keluarga/kelompoknya membeli lebih dahulu barang dengan harga yang sudah murah kemudian dijual kembali kepada instansinya dengan harga yang sudah di mark-up.
15. Kepala daerah meminta bawahannya untuk men-cicilkan barang pribadinya dengan menggunakan anggaran daerah.
16. Kepala daerah memberikan dana kepada pejabat tertentu dengan beban pada anggaran dengan alasan pengurusan DAU/DAK.
17. Kepala daerah memberikan dana kepada DPRD dalam proses penyusunan APBD.
18. Kepala daerah mengeluarkan dana untuk perkara pribadi dengan beban anggaran daerah.
(18 Modus Korupsi di Daerah. Sumber : Kompas, 23 Agustus 2008)

Jelas sudah, bukan hanya di pemerintahan pusat saja para pejabatnya yang suka main “basah-basahan”. Di pemerintahan daerahnya pun turut serta dengan kegiatan tersebut, yang akhirnya banyak bermunculan “raja kecil”. Ikut serta “men-icip-icip” yang akhirnya kebablasan dengan sengaja menggunakan uang rakyat. Yang pasti bukan khilaf, tapi memang sudah keasikan dan kecanduan, sama seperti junkies yang kecanduan dan sakaw putaw atau sabu-sabu.

Ironis, bangsa kita dijajah oleh rakyatnya sendiri. Merdeka cuma judul saja, tapi isinya masih tetap dijajah. Orang baik mungkin banyak, tapi orang yang berhati nuranilah yang sudah susah dan jarang kita temui.

Uang bukanlah segalanya. Tetapi segalanya memerlukan dan pakai uang. Sayangnya, hal tersebut salah dipahami oleh para orang “pintar” yang punya kepemimpinan. Dikarenakan semuanya memerlukan uang, maka mereka pun mengumpulkan uang dengan caranya masing-masing. Yang mengumpulkan uang dengan cara benar, disingkirkan, malah dibilang penyakit. Mereka yang mempunyai “kepentingan” akan berusaha untuk menyingkirkan orang yang berhati nurani. Karena buat mereka, mengolah uang itu bukan dengan orang yang berhati nurani, tapi melainkan dengan orang-orang “pintar”, komplotannya.

Mau sampai kapan juga, kalau hobi korupsi di negara kita ini menjadi suatu hobi favorit di kalangan masyarakat, maka perlahan tapi pasti negara kita akan menjadi negara yang terinfeksi “penyakit”. Bukan lagi pembangunan dan kesejahteraan rakyat yang menjadi tugas utama mereka , melainkan mereka akan mengerjakan kepentingan lain yang berlandaskan UUD (Ujung-Ujungnya Duit).

Semoga saja pejuang kita saat ini, yang tergabung dalam Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) dapat menjalankan tugasnya dengan baik, dan merealisasikan janji mereka untuk membarantas habis para “raja besar” sampai ke “raja kecil” yang sakaw uang. Tetap berhati nurani, mencintai negara, sekaligus rakyat Indonesia. Berjuang bersama dengan rakyat yang memiliki hati nurani untuk menciptakan negara yang lebih baik dan maju, dihargai oleh negara lain, dan yang paling penting adalah dijaga serta dicintai oleh rakyatnya sendiri.

Selasa, Agustus 19, 2008

Komitmen ?

Komitmen itu apa, sih?

Komitmen adalah perjanjian untuk melakukan suatu hal (berdasarkan Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Drs. Ahmad A.K.Muda).

Komitmen biasanya dekat dengan masalah hubungan pasangan dengan pasangan. Selalu dikaitkan dengan keseriusan dan tanggung jawab dalam suatu hubungan. Padahal sebenarnya tidak hanya dalam suatu hubungan pasangan dengan pasangan saja, tetapi juga komitmen dapat dipakai didunia pekerjaan, pendidikan, dan masih banyak lagi. Contohnya saja pada dunia pekerjaan, komitmen karyawan kepada perusahaan, melakukan semua kewajibannya dan mendapatkan haknya.

Kembali lagi kepada masalah komitmen pada hubungan antara pasangan, komitmen disini dekat dengan yang namanya keseriusan dan tanggung jawab. Beberapa orang diluar sana khususnya kaum wanita menyebutkan komitmen itu penting. Dengan komitmen kita bisa menilai sejauh mana niat baik sang pasangan kita.



Buatku, komitmen itu adalah sungguh-sungguh. Sungguh-sungguh menjalani kewajiban, entah itu dalam hal perkerjaan, pendidikan, serta peran didalam keluarga sebagai anak. Komitmen bukan hanya untuk percintaan saja. Tapi komitmen merupakan suatu sikap yang didasari dengan kesungguhan.

Buat kamu, komitmen itu penting ga?

Yuli (karyawan, 29 tahun)
Kalau cowok memang serius dan niatnya baik, pasti cowok itu akan ajak berkomitmen. Bicara ke arah yang lebih serius dan tidak buat gantung pasangannya. Komitmen sangat penting dalam suatu hubungan. Buatnya keseriusan dalam suatu hubungan harus diawali dengan komitmen. Dengan didasari komitmen tersebut maka kedua pasangan tersebut akan tanggung jawab dalam menjalani hubungannya. Dengan sudah berkomitmen saja masih suka ingkar, bagaimana kalau hubungan yang tidak dilandaskan komitmen? Mau jadi apa?

Purwadi (karyawan dan mahasiswa, 27 tahun)
Buat gue, komitmen itu ada saat gue akan memasuki dunia yang baru. Saat gue akan melangsungkan pernikahan, nah, disitulah komitmen hadir. Gue akan lebih bertanggung jawab akan hidup dan segala hal pasangan gue. Tetapi saat gue masih sendiri, kebebasanlah yang ada dihidup gue. Bebas belajar, bebas kenal dengan siapapun, bebas melakukan apapun, dan bebas berhubungan dengan siapapun.

Ahmad (karyawan, 34 tahun)
Suatu hubungan bukan sekedar dengan komitmen saja, tetapi toleransi dan perasaan yang pasti. Suatu hubungan juga tidak diukur dari sebuah komitmen, selama hubungan dijalani oleh pasangan yang saling mencintai, saling menerima kelebihan, kekurangan, serta keadaannya masing-masing, hubungan tersebutpun layak dijalani. Jangan sampai dengan adanya komitmen memberatkan suatu hubungan, yang ujung-ujungnya menuntut sesuatu yang tidak bisa disanggupi salah satu pasangan. Tanggung jawab itu akan mengalir dengan sendirinya diantara hubungan apabila pasangan tersebut memang bisa menerima kondisi apapun. Intinya adalah toleransi dan saling menerima.

Ternyata komitmen itu beragam pengertian dan fungsinya. Antara pasangan satu dengan pasangan lainnya berbeda menyikapi suatu komitmen. Hal tersebut tidak membuat para pasangan yang ada dimuka bumi ini “ribet” dengan sosok si komitmen itu. Tetap ada cinta dan hubungan.

So, menurut kalian, komitmen itu apa, sih? Silahkan mendefinisikan masing-masing.

Minggu, Agustus 03, 2008

Museum Fatahillah

Museum salah satu tempat untuk berekreasi. Hanya tempat ini bukan tempat favorit yang didatangi oleh banyak pengunjung pada umumnya. Hanya anak-anak sekolah saja yang kebanyakan mengunjungi, itu pun kalau memang ada program study tour saja.

Tidak untuk yang satu ini, Museum Fatahillah merupakan salah satu museum yang ada di Jakarta, tepatnya di Kota Tua, Jakarta Pusat. Walaupun memang tidak seramai seperti tempat rekreasi lainnya, tapi pengunjung museum ini cukup banyak. Bukan pengunjung local saja yang datang, tapi wisatawan mancanegara pun cukup banyak mengunjungi museum ini untuk melihat barang-barang prasejarah yang terdapat di dalamnya. Keunikan dan keindahan gedung bersejarah ini dimanfaatkan dengan baik oleh para pecinta foto atau photographer untuk melakukan kegiatan pemotretan. Didukung pula dengan kondisi Kota Tua yang memberikan kesan kuno, maka tidak jarang Kota Tua ini sering dijadikan sebagai lokasi pembuatan film.

Kembali lagi dengan Museum Fatahillah, bahwa Museum ini merupakan salah satu gedung yang mendukung Kota Tua semakin disukai para pengunjung. Oleh karena itu, Museum Fatahillah ini pun dikelola dengan sebaik mungkin oleh tim pengelola.

Berikut ini adalah hasil wawancara tim saya dengan Ibu Nelita (Kepala Seksi Pameran dan Edukasi Museum Fatahillah), yang berbagi cerita dan informasi mengenai pengelolaan Museum Fatahillah.

Sudah berapa lama Ibu Nelita bekerja di Museum Fatahillah ini?
“Saya bekerja dari tahun 2002. Jadi, kurang lebih sudah 6 tahun.”

Ibu bertugas sebagai apa di Museum Fatahillah?
“Kepala Seksi Pameran dan Edukasi”

Ada berapa orang yang termasuk tim Pameran dan Edukasi dia Museum Fatahillah?
“Tidak banyak, karena kami masih kurang SDM, di tim Pameran dan Edukasi ini ada saya dan satu staf saya.”

Program-program apa saja yang disediakan oleh tim Pameran dan Edukasi?
“Pertama, kami memiliki dua kali pameran dalam setahun, yang diberi nama Pameran Temporer. Dimana koleksi-koleksi barang bersejarah tidak semua ditampilkan, maka dengan pameran ini kita akan menampilkan diwaktu-waktu khusus agar dapat dilihat oleh para pengunjung. Kedua, melakukan pameran mengenai perjalanan sejarah Kota Jakarta, seperti pada tahun 2007 lalu memamerkan sejarah Kota Jakarta pada abad 17 dan abad 18. Pada tahun 2008 ini memamerkan sejarah Kota Jakarta pada abad 19 dan abad 20.”

Dari mana dan siapa saja kebanyakan yang mengunjungi Museun Fatahillah ini?
“Dari data yang ada, wisatawan lokal banyak mengunjungi museum ini, serta wisatawan mancanegara pun ada.”

Apakah ada musim-musim tertentu, sehingga museum ini dipadati pengunjung?
“Oh ya, tentu. Khususnya pada musim liburan, sekitar bulan Juni dan bulan Juli. Dimana pada tahun 2007 kemarin, pada musin liburan menyedot sampai 10.000 pengunjung, dan tahun 2008 ini pengunjung yang datang sebanyak 13.000 orang. Perbandingannya itu naik sampai 100%, pada tahun 2007 total pengunjung yang datang dalam setahun sebanyak 78.000 orang, sedangkan tahun 2008 ini sudah menyedot pengunjung sebanyak 80.000 orang sampai bulan Juli minggu ketiga ini.”

Apakah di tahun 2008 ini sedang banyak pameran dan event, sehingga banyak pengunjung yang datang ke museum ini?
“Tidak juga ya. Kita memang sudah mempunyai program untuk tahun ini, seperti Pameran Temporer yang dua kali dalam setahun, Pasar Seni yang setahun ini juga ada dua kali, kegiatan penyuluhan dan edukasi ada 4 kali dalam satu tahun ini, serta ada Wisata Kampung Tua yang akan dijalankan sebanyak dua kali dalam satu tahun ini. Satu hal selain karena ada pameran-pameran yang kita siapkan, yang membuat banyaknya para pengunjung yang datang adalah karena kondisi Kota Tua yang sudah di revitalisasi, sehingga Kota Tua pun semakin bagus dan nyaman.”

Apakah tim pengelola gedung Fatahillah ini mempunyai jadwal khusus untuk melakukan perawatan gedung. Kapan jadwal rutinnya?
“Kita punya jadwal khusus memang, yaitu seminggu sekali di hari Senin, saat Museum Fatahillah ini tutup. Di waktu itulah kami tim pengelola melakukan perawatan.”

Sudah berapa kali Museum Fatahillah ini direnovasi?
“Tidak sering direnovasi, dari tahun 1626 pertama kali gedung ini dibangun, renovasi total hanya dilakukan sekali saja, yaitu pada tahun 1707. Selebihnya hanya perawatan gedung biasa saja.”

Apakah pernah ditemui pengunjung yang “nakal”, dan apakah di Museum ini dijaga di tiap titik tempat koleksi museum ditampilkan?
“Ya, mungkin ada saja yang nakal ya. Itu kita usahakan memberi tahu kepada mereka dengan tanda-tanda peringatan. Balik lagi karena kita masih kurang SDM, seharusnya memang ada yang menjaga di tiap titiknya, tapi sementara ini kita kerahkan terlebih dahulu untuk tetap menjaga semua koleksi dengan berkeliling gedung.”

Apakah Museum Fatahillah ini menjadi museum favorit di Kota Jakarta?
“Dari tingkat kunjungan, Museum Fatahillah ini memang menjadi museum yang banyak dikunjungi dari museum lainnya yang ada di Kota Tua ini. Museum Fatahillah ini menjadi museum no 2 setelah Monas yang sering dikunjungi oleh para wisatawan.”

Apa kesan Ibu Nelita selama bekerja sebagai tim Pameran dan Edukasi di Museum Fatahillah ini?
“Karena saya memang dari Kanwil Depdiknas, dan dengan latar belakang Budaya, saya cukup enjoy menjalani pekerjaan ini. Saya merasa punya tanggung jawab untuk menyampaikan kepada masyarakat mengenai sejarah Kota Jakarta ini, sehingga masyarakat akan mencintai Kota Jakarta dan mereka pun akan menjaga semua yang terdapat di Kota Jakarta. Sehingga peninggalan yang bersejarah ini akan tetap ada dan dapat dinikmati oleh anak cucu kita nanti.”

Apakah ada kesan duka yang Ibu alami selama bekerja di Museum ini?
“Dukanya, saya sedih sekali lagi dengan para pengunjung yang tidak menjaga koleksi yang ada di museum ini. Sangat disayangkan sekali, selain dapat merusak koleksi ya ada, mereka tidak mencintai nilai sejarah yang terkandung didalam setiap koleksi yang ada di museim ini.”

Apa harapan Ibu sebagai tim pengelola museum ini agar peminat dan pengunjung makin banyak yang datang? “Ya kita harus ada pembenahan dulu dari dalam. Seperti kita menjual produk, maka kita harus menyediakan produk yang baik. Yang kita sedang siapkan adalah perjalanan sejarah Kota Jakarta ini akan ditampilkan secara keseluruhan dari jaman penjajahan Jepang sampai dengan masa reformasi ini. Harapan dari sisi pengunjung, agar bisa menjaga koleksi yang ada didalam agar tidak rusak, agar bisa dinikmati sampai ke generasi selanjutnya.”

25 Juli 2008, Kota Tua, Jakarta.


Minggu, Juli 27, 2008

True Colors

True Colors, dua kata itu yang tepat untuk menggambarkan sosoknya. Tegas, pedas dan jelas.
That’s why I love you…

Beautiful, like a rainbow…
Menggambarkan bahwa sosoknya yang indah dan menawan, walaupun kehadirannya hanya sesekali saja di waktu dan tempat tertentu

Don’t be afraid, let me show you…
Dengan melihatmu dari kejauhan saja itu sudah cukup

Can't remember when I last saw you laughing…
Menunggu waktu yang akan tiba itu untuk lepaskan rindu ini

Minggu, Juni 22, 2008

oh em ji, Mas Boy...!

Boy adalah teman baru Nanny yang dijumpainya dari sebuah komunitas chatting. Mas Boy biasa Nanny memanggilnya, karena umurnya jauh lebih tua dari Nanny. Diawali dengan perkenalan melalui sms chatting, hubungan pertemanan antara Mas Boy dan Nanny pun terjalin. Mereka saling bertukar info, dari memperkenalkan nama, pekerjaan sampai hobby dan kebiasaan yang mereka sering lakukan.

Sekedar mengobrol melalui sms, Nanny merasakan kenyamanan berkomunikasi dengan Mas Boy. Tidak hanya mengobrol ngalor ngidul saja, Nanny pun sering berdiskusi mengenai pekerjaannya. Sudah-sudah Mas Boy adalah pria dewasa (35 tahun) yang sikapnya pun mengayomi Nanny yang baru menginjak umur 23 tahun, sehingga diajak mengobrol membahas hal tidak serius sampai hal yang serius Mas Boy dapat melayani Nanny. Kedekatan mereka semakin baik, walaupun memang hanya sebatas teman. Nanny merasa mendapatkan seorang sahabat baru yang bisa dijadikan tempat saling berbagi.

Tak bertahan lama Nanny menikmati kenyamanan bersahabat dengan Mas Boy. Makin lama Nanny membatasi komunikasi dengan Mas Boy yang selama ini dia anggap sahabat dan seperti kakaknya sendiri. Awalnya Nanny merasakan perasaan yang berbeda terhadap Mas Boy, ada rasa sayang yang tumbuh di hati Nanny terhadap Mas Boy. Hanya Nanny tidak berani mengatakannya dan malah merubah rasa sayangnya itu menjadi rasa sayang sebagai kakak yang dia idolakan, yang kebetulan Nanny anak terakhir dari 2 bersaudara, dan sudah 2 tahun kakak kandungnya meninggal karena kecelakaan. Nanny seperti menemukan sosok almarhum kakaknya di diri Mas Boy. Sehingga nasihat-nasihat yang dilontarkan Mas Boy pun sering dituruti oleh Nanny. Komunikasi yang makin berkurang ini dikarenakan Nanny merasa dibohongi oleh Mas Boy yang baru cerita bahwa Mas Boy sudah memiliki keluarga. Istri dan satu anaknya tinggal di Semarang, Mas Boy di Jakarta tinggal sendiri dan bekerja di sebuah perusahaan telekomunikasi. Istri Mas Boy mempunyai tugas mengajar di sebuah sekolah menengah umum di Semarang oleh karena itu mereka tinggal terpisah, dua minggu sekali Mas Boy pulang ke Semarang untuk menengok istri dan anaknya.

”Kenapa Mas tidak bilang dari awal ke Nanny?”
keluh Nanny. Mas Boy hanya bisa membalas semua sms Nanny dengan kata permohonan maaf. Sejak itu hubungan mereka tidak sedekat seperti awal perkenalan. Mas Boy tetap berusaha menjaga hubungan yang sudah terjalin ini dengan tetap mengajak Nanny berkomunikasi, sehingga Nanny yang merasa dibohongi lama-lama bisa menerima Mas Boy nya, walaupun memang tidak sama seperti semula kenal.

Sudah memasuki bulan kedua mereka berhubungan melalui sms dan telepon, akhirnya Mas Boy pun mengajak Nanny untuk bertemu langsung. Nanny pun tidak menolak ajakan Mas Boy untuk bertemu pada hari sabtu malam minggu di akhir bulan Januari. Mereka bertemu di salah satu cafe yang terletak di pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan. Sudah tidak merasa asing lagi walaupun ini pertemuan pertama, karena hubungan mereka sudah terjalin baik sebelumnya. Sebelum saling bertemu pun mereka sudah saling bertukar foto sehingga pantas saja kalau mereka sudah tidak merasa asing satu sama lain.

Tawa-tawa kecil menghiasi peretemuan mereka yang diisi dengan obrolan dan diskusi ringan. Nanny benar-benar menikmati pertemuan pertamanya dengan Mas Boy. Setelah itu tidak berhenti begitu saja, mereka pun jadi mempunyai jadwal untuk bisa bertemu walaupun hanya untuk mengobrol saja. Nanny pun mulai mengenal baik istri dan anak Mas Boy melalui sms dan telepon. Sikap Mas Boy yang mengenali Nanny kepada istri dan anaknya membuat Nanny makin menyayangi Mas Boy sebagai seorang kakak. Hampir tiap minggu kalau Mas Boy tidak pulang ke Semarang menyempatkan bertemu dengan Nanny.

Nanny : Mas, ini tempat favorite mu ya? Kok suka banget ngajak ketemu dan ngobrol disini?
Mas Boy : Lumayan, tempatnya enak sih untuk ngobrol dan sekedar untuk santai
Nanny : Ada kenangannya ya sama Mba Vira dulu?
Mas Boy : He he he, iya. Tapi bukan sama istri ku.
Nanny : Oya? Sama siapa dong? Sahabat atau mantan pacar Mas dulu ?
Mas Boy : Ada aja. Sudahlah, Cuma masa lalu kok.

Nanny merasa penasaran dengan jawaban Mas Boy yang menyembunyikan sesuatu. Tapi Nanny tidak meneruskan pertanyaannya lagi, karena dia merasa Mas Boy punya hak untuk tidak cerita kepadanya. Kebersamaan mereka di cafe untuk bersantai biasanya dari siang sampai menjelang malam, Mas Boy benar-benar suka bersantai-santai di cafe yang biasa mereka kunjungi.

Karena sudah sering Nanny bertemu dengan Mas Boy dan tempat bertemunya selalu di tempat yang sama, lama-kelamaan Nanny merasakan hal yang aneh.
”Entah kenapa Mas Boy suka banget dengan cafe itu, sudah gitu Mas Boy itu suka sekali memperhatikan perempuan dewasa (tante-tante) yang datang ke cafe itu” ucap Nanny sendiri dengan pelan mengendarai mobilnya keluar dari kantor menuju cafe biasa tempat bertemu dengan Mas Boy yang sejak siang sudah membuat janji dengan Mas Boy untuk bertemu mengantar buku yang sudah Nanny pinjam.

Nanny : Hai Mas, sorry telat, lumayan macet.
Mas Boy : Eh Nan, gapapa, aku juga belum lama kok. Mau pesen minum apa? Mau pesan makan ga?
Nanny : Ga ah, aku minum aja, yang biasa, Mas.

Masih dengan rasa penasaran yang Nanny miliki terhadap Mas Boy, Nanny pun menjadi sering memperhatikan gelagat Mas Boy selama ada di cafe.
”Hmmm, benar, kenapa Mas Boy sering memperhatikan tante-tante yang masuk ke cafe ini ya?” bisik Nanny dalam hati sambil melihat-lihat buku menu yang sesekali melirik Mas Boy yang sedang asik merokok dan memperhatikan sekelilingnya.

Sudah cukup malam Nanny tiba di rumah setelah bertemu dengan Mas Boy. Tiba-tiba satu sms diterima dan dibaca oleh Nanny. Sms yang dikirim oleh Mas Boy yang memastikan Nanny sudah sampai rumah lagi, dan akhirnya balas membalas sms pun tak terelakkan. Masih dengan rasa penasaran yang dimiliki Nanny, akhirnya dia pun memberanikan diri menanyakan keresahan yang dimiliki Nanny kepada Mas Boy. Cukup lama sms yang dikirim Nanny tidak dibalas oleh Mas Boy. Satu jam kemudian panggilan masuk ke telepon genggam Nanny.

Nanny : Halo
Mas Boy : Malam, Nan, udah tidur?
Nanny : Eh Mas Boy, belum. Nanny kira Mas sudah tidur. Kenapa, Mas?
Mas Boy : Nan, Maaf ya.........................

Nanny hanya terpaku seketika, hanya diam menjadi pendengar yang baik dengan rasa kaget yang membuat dia tidak bisa mengeluarkan kata-kata setelah Mas Boy bercerita melalui telepon sesuatu yang sudah disembunyikan. Mas Boy yang sudah dianggap seperti kakaknya ini menceritakan semua masa lalunya kepada Nanny. Mas Boy yang sudah memiliki istri dan satu anak ini ternyata mencintai sosok perempuan dewasa yang umurnya jauh lebih tua dari Mas Boy. Diawali saat dibangku kuliah Mas Boy mempunyai hubungan dengan seorang wanita yang umurnya lebih tua dari nya, awalnya Mas Boy tidak menyukainya, tapi lama-kelamaan Mas Boy pun jatuh ketangan Tante Sonya, terjebak dengan kebiasaan-kebiasaan yang Nanny anggap itu sangat tidak pantas. Sampai akhirnya Mas Boy menikah dengan Mba Vira dan mempunyai gilang anak pertama yang dihasilkan dari hubungan pernikahan mereka, Mas Boy masih merasa tidak terpuaskan oleh istrinya. Mas Boy merasa lebih puas dengan hubungannya bersama tante Sonya. Mulai dari saling berbagi dan kegiatan sex nya pun Mas Boy merasa lebih puas bersama Tante Sonya. Nanny benar-benar dibuat diam oleh pengakuan Mas Boy.

Mas Boy : Itu sebabnya aku suka berlama-lama santai di cafe biasa tempat kita bertemu, karena di cafe itu aku sering bersama Tante Sonya, dan dia janji akan datang lagi dan bertemu di cafe itu setelah dia pergi meninggalkan aku untuk ikut suaminya yang pindah bertugas ke Jepang.

”Oke”
jawab Nanny singkat yang masih belum percaya dengan apa yang semua sudah dikatakan oleh Mas Boy kepadanya. Kecewa seketika setelah mengetahui kondisi Mas Boy yang sebenarnya, Nanny pun langsung terbayang wajah Mba Vira dan Gilang, tidak tau seperti apa kalau Mba Vira mengetahui keadaan yang sebenarnya. Badan Nanny menjadi lemas, beberapa detik keheningan menyelimuti obrolan Nanny dan Mas Boy yang tersambung di telepon genggam.

Pantas, aku tidak melihat Mba Vira di kilau mata Mas, apabila Mas sedang menceritakan istri dan anakmu. Melainkan aku melihat tante di kilau matamu. Aku kecewa Mas. Terima kasih sudah mau jujur” Sejak malam itu sampai selanjutnya hubungan komunikasi Nanny dengan Mas Boy mulai berkurang. Nanny merasakan kekecewaan dengan sikap yang dimiliki soerang sahabat dan kakaknya, sehingga hubungan mereka pun tidak sedekat dulu lagi.

(Cerita terinspirasi dari pengalaman seorang teman komunitas i-chatting M3)


Hidup dengan ratusan ikat sayuran

Umur boleh tua, tapi semangat tetap semangat anak muda, kalimat itulah yang cocok untuk menggambarkan seorang bapak tua yang sudah bekerja selama 21 tahun sebagai tukang sayur, khususnya sayur bayam dan kangkung. Mungkin karena bapak tua ini jualan sayur bayam maka itu dia pun kuat dan semangat, sama seperti tokoh kartun yang kuat tak terkalahkan karena dia suka makan sayur bayam yaitu Popaye si pelaut. Tapi bapak tua ini bukanlah popaye si pelaut, melainkan seorang suami dan bapak yang memiliki lima anak dan enam cucu yang tetap harus bekerja diusianya yang sudah menginjak 60 tahun ini untuk tetap menafkahi keluarganya.

Bapak Matar, nama itulah yang biasa dipanggil di rumah dan di tempatnya berjualan di Pasar Baru, Bekasi. Dengan becaknya dia mengangkut sayuran dari Pasar Teluk Buyung menuju Pasar Baru Bekasi yang paling sedikit membawa 600 ikat sayur bayam dan sayur kangkung. Dimulai dari jam 14.00 wib sampai 16.00 wib Pak Matar belanja sayuran yang nantinya akan dijual lagi untuk mendapatkan penghasilan agar dapur rumahnya tetap berasap dan menyekolahkan anak-anaknya.

“baru jam 18.00 wib saya mulai jualan sampai nanti jam 03.00 pagi” ucapnya sambil mengikat sayur yang dibuat menjadi satu ikat besar dimana sayuran itu sudah dipesan oleh langganannya. Malam ini Bapak Matar hanya membawa 600 ikat sayuran yang akan dijualnya, jauh lebih sedikit dari sebelumnya pertama kali saya datang mengunjunginya. Ada beberapa ikatan besar sayur yang sudah disiapkan Pak Matar untuk langganannya yang sudah memesan satu hari sebelumnya. Sisanya mungkin hanya tinggal beberapa ikat saja yang tersusun rapi diatas becaknya. Dengan baju lusuh dan wajah tuanya dia tetap ulet mengikat setiap sayuran yang akan dijualnya sehingga rasa lelah pun tertutupi dengan kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai seorang pencari nafkah.

Pak Matar sosok seorang pekerja keras dan tidak suka mengeluh, terlihat selama bersamanya dia tidak pernah mengeluarkan kata-kata keluhan, melainkan wejangan-wejangan untuk tetap kuat dan sabar menjalani semua keadaannya. Mungkin untuk para laki-laki tua yang sudah memiliki umur seperti Pak Matar ini tidak semua bisa memiliki jiwa tegar sebesar dia. Apalagi dengan keadaan saat ini yang semakin sulit saja. BBM naik, tua muda pun semua berteriak “susah”.

“Ya berkurang Neng, yang dulu sebelum BBM naik, uang 50.000 itu bisa ada lebihnya, kalau sekarang jadi mepet” ungkap Pak Matar yang sampai saat ini belum mendapat jatah uang Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari pemerintah. Sampai saat ini bantuan dari pemerintah untuk warga miskin masih belum merata, dengan kondisi daerah-daerah pedalaman yang warganya miskin di pinggiran kota masih belum terjamah oleh bantuan pemerintah. Entah memang belum terjamah atau mungkin para pengurus yang mengurusi bantuan ini tidak tuntas mendata warga-warga miskin yang ada disana. Kita hanya bisa menerima dan menjalani keadaan yang ada, khususnya untuk orang-orang yang tidak beruntung, sudah miskin makin miskin lagi. Protes-protes yang ditujukan kepada pemerintah ini sepertinya menjadi hiasan semata, kebijakan-kebijakan yang diberikan oleh pemerintah tidak banyak membantu kaum yang tidak beruntung ini. Anggap saja program BLT ini salah satu cara pemerintah menyuap warga miskin untuk menerima kenaikan BBM di Negara kita ini.

Yang kuat yang bertahan, itulah keadaan di Negara kita saat ini. Seperti sikapnya Pak Matar yang tetap bertahan hidup dengan dibantu becaknya mengangkut ratusan bahkan ribuan ikat sayur yang akan dijual untuk membiayai kebutuhan hidupnya di usainya yang seharusnya sudah beristirahat di rumah menikmati masa tuanya bersama istri, anak dan cucunya, namun beliau masih tetap berteman dan bergelut dengan malam mencari nafkah. Keadaan yang sulit mengajarkan Pak Matar untuk tetap kuat, sehingga dia pun tidak pernah mempedulikan berapa usianya sekarang, ”selama masih kuat dan sehat saya akan tetap bekerja, Neng” ungkapnya dengan senyum yang menghiasi wajahnya yang sudah dipenuhi garis kerut keriput.

Memang Pak Matar bukanlah seorang yang terkenal dan disegani yang ahli dalam bidang tertentu, tetapi Pak Matar merupakan sosok yang dapat kita jadikan panutan dalam menjalani dan menghargai suatu kehidupan dan kerja keras. Pak Matar mengajari kita untuk menjadi manusia yang kuat, melakukan semua usaha sebaik mungkin selama masih bisa berdiri dan sehat. Mencintai keluarga merupakan salah satu kelebihan yang dimiliki Pak Matar, sikapnya yang tanpa pamrih dan tak pernah menuntut kepada anaknya merupakan wujud cinta dan kasih sayangnya terhadap anak-anaknya. Beliau tidak pernah memaksa kepada anak-anaknya yang sudah memiliki penghasilan sendiri untuk membantunya, Pak Matar tetap bekerja sendiri untuk membiayai dua anaknya yang masih sekolah di bangku SMU dan Madrasah.
”Bapak sih ga pernah minta apa-apa, kalau mau bantu ya silahkan, tapi kalau tidak ya gapapa, yang penting mereka bisa mencukupi kebetuhan mereka” ungkap Bapak tua ini yang pernah menjadi tukang buah di pasar minggu. (INM/200608)

Sekilas Bakti Sosial Eson Pahatonka 4

Acara bakti sosial yang dilakukan oleh gabungan dari beberapa milis pecinta alam (Pangrango.com, Nature Trekker Indonesia, Merbabu.com, High Camp, Komunitas Pendaki) yang di koordinasikan oleh teman-teman Wounded Knee ini dilaksanakan di Desa Gobang, Kecamatan Rumpin, Bogor. Kira-kira 1,5 jam perjalanan dari Bogor untuk mencapai desa ini, kondisi desa ini masih bisa dibilang cukup asri dengan adanya lahan sawah diantara perumahan penduduknya. Udaranya masih bersih dari polusi karena fasilitas transportasi umum sangat sedikit sekali dijumpai, sehingga saat menjelang malam (18.00wib) pun akan sulit mendapatkan angkutan umum, kecuali kendaraan pribadi dan itupun kebanyakan hanya motor dan sepeda.

Bakti sosial ini dilakukan setiap setahun sekali oleh teman-teman yang terkumpul di komunitas pecinta alam ini. Acara yang dilakukan pada tahun ini merupakan kegiatan bakti sosial yang ke-4 yang mempunyai tema “Bumiku Rumahku”, yang didalamnya terdapat 2 pokok acara yaitu :
1. Melek lingkungan melalui pendidikan sains alam bebas untuk siswa sekolah dasar
2. Pemberdayaan masyarakat untuk peduli akan lingkungan hidup

Acara bakti sosial berjalan dengan baik sesuai dengan rencana panitia dan koordinator acara. Diterima dengan baik oleh anak-anak murid SD Gobang (Kelas 1 s/d kelas 6) yang menjadi peserta diacara ini. Minat anak-anak SD Gobang untuk mengikuti pendidikan sains alam bebas ini sangat besar sekali dengan terlihatnya mimik wajah dan tingkah laku mereka yang gembira mengikuti semua sajian acara yang diberikan oleh panitia acara. Mulai dari menonton film pendidikan, cerita anak, origami, mewarnai, sampai games sains. Acara penyuluhan pembudidayaan jamur tiram untuk warga pun berjalan dengan baik dengan tidak kalah minat dan rasa keingintahuan warga terlihat diwajah mereka, dimana penyuluhan ini dilaksanakan bertujuan untuk memberikan manfaat pembudidayaan yang dapat dijadikan salah satu sumber pendapatan dengan membudidayakan jamur yang dapat di-supply ke kota dimana teman-teman pencinta alam ini menyiapkan tempat untuk menampung jamur-jamur yang sudah siap untuk dijual sehingga menghasilkan uang, sehingga para warga desa rumpin pun akan mendapatkan penghasilan.


Gambaran keadaan bakti sosial Eson Pahantonka 4, Rumpin, Bogor. Diawali dengan pembagian bubur kacang hijau kepada anak-anak SD Gobang sebelum mereka melakukan games sains, dan kegiatan anak-anak SD kelas 2 dan 3 yang sedang belajar origami (melipat kertas).




























Minggu, Mei 25, 2008

Celoteh seorang bapak supir yang kecewa

Pagi ini lagi-lagi saya harus menyaksikan curhatan dan kekecewaan, curhat seorang bapak supir angkot jurusan Terminal Bekasi – Proyek – Gabus. Bisa dibilang ini curhatan colongan yang kebetulan saya menjadi penumpang tunggal yang naik angkotnya pagi itu. Bapak supir mengendarai mobilnya tidak terlalu cepat,sehingga dia dapat sesekali berteriak ke jalan memanggil orang-orang yang sedang menunggu mobil.

“Jonggol, Mba?” celetuknya saat mobilnya melewati seorang gadis berparas manis dengan rambutnya berwarna kuning jagung sehingga cukup eye catching kalau dilihat dari jauh. Saat itu saya hanya tersenyum sambil sesekali melihat sekilas wajah bapak supir angkot dari kaca spion tengah.
“He he he, daripada ngomongin orang ya, Mba. Mending kita godain aja” tegur bapak supir yang mulai mengajak mengobrol. Saya hanya tersenyum dan mengiyakan tegurannya.
“Saya kesal, Mba. Kenapa Pak JK tidak mati saja sekalian!” keluhnya dengan sinis.
“Sudah buat rejeki kita jadi mati, gara-gara BBM naik. Teman-teman saya jadi pada malas keluar untuk narik, tuh” tambahnya lagi.

Lagi-lagi saya hanya bisa tersenyum, rasanya benar-benar speechless.
“Tenang saja, Pak, nanti juga akan membaik, jalani saja” jawab saya dan membalas senyum bapak supir itu dan dari kaca spion tengah yang sesekali kita saling menatap.

Miris hati ini, dua hari ini saya banyak bertemu dengan orang-orang yang kecewa dan berkeluh. Mereka kecewa dengan keadaan yang tak diharapkannya tetapi tetap harus dijalani. Keinginan saya untuk membantu mereka sangat besar, tapi saya hanya bisa melakukan sebatas saya bisa. Dengan menjalani kewajiban saya sebagai pengguna angkutan umum, dengan senang hati saya mengikuti tarif baru tanpa harus mengomel atau kecewa juga. Sudah banyak yang kecewa, kenapa harus menambah kekecewaan mereka lagi.

Hal positif yang saya dapat dari dua hari ini dengan bertemunya orang-orang yang kecewa, empati saya rasakan menjadi bertambah. Saya menjadi lebih menyayangi mereka. Doa tak pernah putus saya kirimkan untuk mereka dan keyakinan saya bahwa mereka akan lebih kuat dan dapat mejalani semua ini. Tidak hanya empati saja yang tumbuh, tapi kebiasaan berhemat pun makin terasa. Berhemat untuk dapat berbagi dengan yang lain dan yang memerlukan.

Sabtu, Mei 24, 2008

Senyuman hangat di balik kegetiran

Sudah sampai di rumah saja saya masih teringat senyuman seorang bapak paruh baya yang tadi saya temui di angkot saat menuju rumah sepulang kuliah hari ini. Benar-benar menentramkan dan sangat bijaksana sekali.

Tenang dan dijalani saja, BBM kali ini naik bukanlah yang pertama. Buktinya kenaikan BBM sebelumnya saja juga semua orang khawatri dan protes, tapi mereka tetap jalani dan hidup kan. Bedanya beli beras dulu Rp.1000, sekarang sudah tidak dapat dengan harga segitu, tapi kita tetap makan nasi. Nanti lama-lama juga terbiasa”, ucap bapak paruh baya itu dari belakang dan spontan saya pun menengok untuk melihat wajahnya.
Iya Pak, lagian warag Indonesia juga sudah terbiasa hidup susah”, balas saya menengok ke belakang dan memberikan senyum ke Bapak itu. Samping saya Pak supir hanya mengulum senyumnya sambil merapikan uang yang dia genggam dengan tetap konsentrasi mengendarai mobilnya.

Masih tetap berpikir dan salut dengan sikap bapak paruh baya itu. Dia bisa setenang itu menjalani hidupnya. Padahal kalau boleh saya bilang, bapak paruh baya itu orang yang biasa-biasa saja, terlihat jauh dari kemewahan. Dia memakai pakaian seperti seragam buruh yang sudah lusuh dan agak kotor, dengan topi yang warnanya sudah mulai pudar. Dia tersenyum lagi pada saya saat menuruni angkot dan membayar lalu berpamitan. Benar-benar membuat saya kagum dan merinding. Saya merasakan keprihatinan bapak paruh baya dari kondisi penampilannya, tapi entah bagaimana dia mempunyai kekuatan dan setegar itu dalam menjalani hidupnya. Andai saja saya bersamanya dan mengobrol lebih lama, mungkin saya akan mendapat banyak pelajaran dari bapak paruh baya itu.

Semoga saja warga Indonesia yang lain mempunyai kekuatan dan ketegaran yang sama besar seperti bapak paruh baya itu untuk menghadapi kesulitan yang ada di Negara tercinta kita ini. Sehingga masalah kenaikkan BBM kali ini dan masalah lain yang terberat sekalipun dapat dijalani dengan baik.

Semoga saja saya bisa bertemu lagi dengan bapak paruh baya itu, sehingga saya bisa merasakan juga keprihatinannya dan belajar banyak darinya bagaimana cara bersyukur kepada Ilahi untuk semua yang sudah diberikan.

Hutan di dalam Gedung

Ada satu yang berbeda kali ini saat saya berkunjung ke Gedung Setiabudi di Kuningan. Entah mengapa mata saya tak mau berpaling dari pandangan wallpaper yang terpasang di sisi dinding gedung itu saat saya sedang menunggu seorang teman di lobby bawah gedung itu. Wallpaper pemandangan hutan. Cantik sekali.

Jejeran batang pohon dengan dedaunan yang rindang, warna daun yang hijau kekuningan yang terkena sinar matahari, semak diantara batang pohon memamerkan kesunyian yang tenang. Membuat saya tidak melepaskan pandangan ke gambar wallpaper yang terpasang.

Kira-kira panjangnya 8 meter dan tingginya 3 meter wallpaper itu terpasang pada sisi dinding gedung. Mengalahkan perhatian saya untuk melihat tanaman yang benar hidup yang tertanam di taman kecil dalam gedung dan lebih memilih memandangi gambar wallpaper itu. Wah, andai saja Jakarta keadaannya lebih hijau dan udaranya sesejuk seperti hutan yang ada di gambar itu, mungkin saya akan menikmatinya setiap hari dengan berjalan kaki untuk melakukan aktifitas setiap harinya, sehingga saya tak menjumpai suasana Jakarta yang macet, panas dan berpolusi. Ah, pastinya ini tidak mungkin terjadi, saya hanya berandai-andai saja.






Sosoknya menenangkan

Terakhir bertemu dua minggu lalu, tapi senyuman hangatnya masih melekat di pikiranku sampai sekarang ini. Rambutnya lebih pendek dan tampak lebih kurus dari pertemuan sebelumnya. Tapi yang tak berubah adalah raut wajah manisnya dengan aksen kumis rapi yang membuat dia tampak simpatik.

Masih dengan teman setianya, beberapa mainan kecil canggih, notebook, minuman beralkohol, dan sebungkus rokok yang kali ini tidak seperti biasa yang dia miliki. Hanya sekedar berbincang dan diskusi kecil sudah membuat aku terobati dari rasa rinduku padanya. Di dalam hati hanya memohon agar waktu tidak cepat berlalu agar aku bisa berlama-lama dengannya. Walaupun hanya saling diam, buatku itu juga sudah cukup, karena dengan kebersamaan yang ada sudah membuatku sangat nyaman. Aku pun tak pernah khawatir apabila tidak diajak ngobrol dengannya, karena aku tidak akan melewati waktu yang ada untuk memandangi wajahnya dan kurekam di memori pikiranku, sehingga saat ku rindu, aku tinggal memutar rekamanku itu untuk membayangkan wajahnya.

Entah mengapa aku bisa mencintainya sedalam itu. Untukku dia adalah hutan, menyejukkan, damai, misterius tapi tetap membuatku terasa aman. Aku tak peduli bagaimana perasaannya terhadapku, yang terpenting dia sudah mengetahui apa yang aku rasakan padanya. Cukup dengan sosoknya yang kupinjam untuk tenangkan batin ini, karena seutuhnya dia hanya milik Ilahi dan aku hanya nikmati anugerah dari Ilahi itu sebatas aku bisa dan aku mampu
.

Small Thoughts

Never cry for any relation in life
Because for the one whom you cry
Does not deserve your tears
And the one who deserves
Will never let you cry...


Treat everyone with politeness
Even those who are rude to you
Not because they are not nice
But because you are nice...

Never search your happiness in others
Which will make you feel alone
Rather search it in yourself
You will feel happy even if you are left alone...

Always have a positive attitude in life
There is something positive in every person
Even a stopped watch is right twice a day...

Happiness always looks small
When we hold it in our hands
But when we learn to share it
We realize how big and precious it is!

(Anonymous)

Senin, Mei 19, 2008

Bunda

Bunda
Tangguh dan kuat dalam hidupnya
Sabar dan tabah dalam waktu dan harinya
Pengertian dan penuh kasih sayang dalam sikapnya

Bunda
Penuh cinta
Penuh kasih sayang
Penuh perhatian
Penuh pengorbanan
Penuh perjuangan


Bunda
Memberikanku perlindungan
Memberikanku kekuatan
Memberikanku ilmu dan pelajaran
Memberikanku cinta dan kasih sayang

Bunda
Mengajarkanku ketabahan
Mengajarkanku kesabaran
Mengajarkanku ketulusan
Mengajarkanku cinta


Bunda
Engkau ibu sekaligus ayah yang selalu menjadi rumah
Untukku bernaung
Berlindung dan bersandar

-22062007-

Di taman sebuah cinema

Lambaian daun palem hijau tentram
Berjejer manis mengisi sudut taman
Langit sore tersenyum damai
Mengirim semilir angin menerpa wajah
Setiap meja terisi oleh pendatang
Sekedar menikmati secangkir kopi
Mengepulkan asap rokok
Memainkan mainan kecil canggih
Lemparkan senyum ke setiap sudut
Aku duduk sendiri memegang sebatang rokok
Menunggu giliran untuk menikmati pertunjukan

Minggu, Mei 18, 2008

Kabar duka dari Ngawi

Tubuh yang tersandar santai pada kursi mobil dengan setengah sadar karena kantuk menggelantungi mata dan headphone yang menutupi lubang telinga mengalunkan musik dari gelombang radio membuat saya terbangun seketika dari alam setengah sadar yang tiba-tiba sebuah kilasan berita menyampaikan kabar buruk telah meninggalnya Sopan Sofyan pagi tadi jam 10 di Ngawi karena kecelakaan.

Tidak cukup lengkap kilasan berita yang disampaikan dari gelombang radio tersebut, hanya ucapan bela sungkawa yang sangat mendalam tulus terucap lirih oleh sang penyiar.
Rasanya baru dua hari lalu saya melihat sosok Om Sopan Sofyan pada program berita di salah satu stasiun televisi swasta Indonesia dengan keadaan yang sehat tak terlihat sakit, tapi siang ini saya mendapatkan kabar bahwa beliau sudah tiada.

Om Sopan (almarhum) buat saya adalah sosok ayah yang sangat diidam-idamkan. Ketampanan dan kegagahannya memang sudah banyak diakui orang banyak, khususnya pada masyarakat Indonesia, tapi buat saya kecintaannya terhadap keluarganya lah itu yang terpenting dan dapat membuat kagum semua orang. Bijaksana dan demokrasi terhadap keluarga, karir dan pekerjaannya merupakan tauladan untuk siapa saja khususnya untuk saya. Saya bangga dan salut untuk satu keputusannya saat dia melepaskan pekerjaannya dari kursi pemerintahan yang untuknya sudah tidak sesuai dengan hati nuraninya. Dimana pada satu program infotaiment pada salah satu televisi swasta Indonesia dia menyampaikan rasa kedamaiannya dengan meninggalkan kedudukan yang dia miliki saat itu,yang notabene dengan kedudukan yang dia miliki itu dapat bertindak dan memiliki apa pun yang dia mau.

Jujur saya kecewa saat melihat kilasan wawancara Om Sopan (almarhum) dua hari lalu yang saya tangkap dari program berita. Kurang lebih Om berkata, “Karena kita ini membawa motor besar , oleh karena itu kita gunakan jalan tol untuk konfoi agar tidak mengganggu pengguna jalan biasa yang lain dan mencegah gagguan dan kecelakan pada jalan biasa”.
Saya cuma bisa menggelengkan kepala, kenapa kata-kata itu keluar dari mulut Om Sopan (almarhum) yang sosoknya sangat saya banggakan. Jelas saya kecewa, karena jelas juga bahwa jalan tol itu bukannya akses jalan yang hanya dapat digunakan oleh kendaraan beroda empat. Kalaupun beberapa waktu lalu ada motor juga bisa masuk akses tol dalam kota iu karena kondisi Jakarta dan sekitarnya terendam air, musim banjir 5 tahunan pada musim hujan awal tahun 2007 dan 2008 ini.

Entah bagaimana komunitas motor besar itu dapat menggunakan akses jalan tol. Mungkin karena personil yang didalamnya merupakan orang-orang yang mempunyai uang lebih dan kuasa sehinggal hal yang tidak mungkin pun akan menjadi mungkin buat mereka. Yang sangat disayangkan lagi pemerintah kita pun memberikan ijin. Jelas sudah bahwa hukum dan peraturan kita masih cukup lemah dan bertenggang rasa. Boleh saja kita rakyat Indonesia merupakan budaya timur yang memiliki sikap tepo saliro, tapi tidak untuk peraturan dan ketertiban. Tertib ya harus tetap tertib…
Dengan kondisi yang seperti ini sama saja hukum dan peraturan yang berlaku di negara kita ini dapat beli dengan uang dan kuasa. Padahal kita semua ingin negara kita menjadi lebih baik dan maju, seharusnya hukum dan peraturan di negara kita ini tidak mengenal kata KECUALI , melainkan TEGAS tanpa embel-embel transaksi dan negosiasi.

Dengan segala kerendahan hati saya dan tidak mengurangi rasa hormat dan kagum saya terhadap Om Sopan (almarhum) keluh kesah ini saya sampaikan semata-mata rasa cinta saya untuk sosok ayah yang terdambakan. Saya ucapkan selamat jalan ayah, semoga kau menempati tempat yang damai dan indah di sisi-Nya. Amin.

Uang dan kuasa bisa saja membeli Hukum dan Peraturan, tapi tidak bisa membeli waktu untuk mengulur kematian.



Bekasi -Tanjung Priuk
Sabtu, 17 Mei 2008

Ikan Hiu Makan Tomat, Thank You Very Much

Semua ini hanya ekspresi jiwa dan pikiran sendiri yang ingin bebas, dengan norma kesopanan yang masih dijunjung guna tidak menyakiti orang lain. Tidak dilarang berkomentar atau mengkritik, hanya di sini dilarang iri dan sirik. Jika sirik dan iri, silahkan bikin Blog saja.